Teori
Konsumsi
A.
Definisi Konsumsi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) konsumsi yaitu, pemakaian
barang hasil produksi seperti bahan makanan, pakaian dan lain-lain untuk
memenuhi keperluan hidup.[1]
Secara umum, konsumsi juga dapat didefinisikan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut
untuk dijual kembali maka dia disebut pengecer atau distributor.[2]
Menurut Dr. Asyraf Muhammad Dawwabah, konsumsi adalah suatu bentuk
kegiatan dimana konsumen menggunakan
atau menghabiskan suatu barang dan jasa pelayanan
guna memperoleh manfaat serta kepuasan. Suatu benda atau jasa yang digunakan
berbentuk barang yang digunakan untuk memperoleh manfaat serta kepuasan secara
langsung.[3]
Barang
konsumsi itu terbagi dua macam:[4]
1.
Konsumsi
jangka panjang atau memanfaatkan suatu barang atau jasa dalam jangka waktu yang
lama. Seperti sepatu, baju, kendaraan, rumah, dll.
2.
Konsumsi
jangka pendek yang bisa dihitung dengan waktu, seperti makanan dan minuman.
Konsumsi
dari segi kelebihan dan kekurangan
Tidak
mungkin membangun suatu masyarakat tanpa konsumsi di dalamnya, karena dengan konsumsi
manusia dapat bertahan hidup, dan tata cara pelaksanaanya diatur oleh badan
ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat. Konsumsi dari segi kelebihannya
adalah bahwa dengan konsumsi manusia dapat melanjutkan eksistensinya. Sedangkan
kekurangannya adalah bahwa dikhawatirkan manusia akan berlebih-lebihan dalam
mengkonsumsi. Maka ekonomi Islam mengatur kegiatan konsumsi dengan menata keseimbangan
materi dan rohani.[5]
B. Bahaya Konsumsi[6]
1.
Membahayakan
Perekonomian
Pada prinsipnya Negara yang mempunyai devisa besar dan mampu
menyimpannya serta tidak mempunyai pengeluaran yang banyak, maka akan lebih
cepat pertumbuhannya dibanding dengan Negara lain. Maka budaya hidup konsumtif
secara tidak langsung dapat menghancurkan unsur terpenting dari pertumbuhan dan
perkembangan Negara itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar dalam prinsip
konsumsi.
2.
Membahayakan
masyarakat
Besar pasak dari pada tiang adalah ungkapan yang paling cocok terhadap
prinsip ekonomi suatu masyarakat. Kita ambil contoh dalam suatu keluarga, sebuah
keluarga harus bisa mengelola keuangan mereka, termasuk memberikan pendidikan
menabung sejak dini kepada anak-anak mereka. karena pendidikan orang tua
terhadap anak mengenai sifat konsumsi sangat mempengaruhi , jikalau pengeluaran
lebih banyak dibanding pemasukan disinilah awal terjadinya keretakan rumah
tangga. Begitu pula dalam sebuah masyarakat.
3.
Bahaya
terhadap politik
Tidak terpenuhinya kebutuhan warga Negara akan mengakibatkan
keagresifan warga untuk memenuhi kebutuhan dengan cara mereka sendiri, sehingga
tidak ayal lagi saling mementingkan diri sendiri adalah cerminan dari tidak
tercukupinya kebutuhan warga oleh Negara yang berdampak pada tumpang-tindih serta
perselisihan dalam ekonomi dan politik. Karena yang diinginkan dari warga
Negara yaitu kesejahteraan, mendapatkan keuntungan, serta kehidupan yang damai
dibawah naungan pemerintah.
4.
Bahaya
terhadap syariat
Sikap hidup konsumtif yang berlebihan dikhawatirkan akan keluar
dari jalur akhlak dan adab, serta ajaran
agama, begitu juga akan menimbulkan beberapa dampak, seperti mengikuti pola
kehidupan barat dari segi makanan, minuman dan pakaian, sehingga menyebabkan
rusaknya moral dan terbentuknya pola hidup berlebihan dengan tabdzir dan
bermewah-mewah. Mereka Melakukan semua hal yang tidak izinkan syariat dan mengeluarkan
hartanya untuk bermaksiat, dengan melakukan kemunkaran-kemunkaran. Itu semua merupakan
pekerjaan yang sangat tidak di ridhai Allah dan Rasulullah, juga akan
membahayakan keharmonisan keluarga dan masyarakat pada umumnya.
C.
Faktor Pengaruh Konsumsi[7]
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi budaya
konsumtif berlebihan:
1.
keuntungan
yang besar
Secara umum
kegiatan konsumsi berkaitan dengan keuntungan, jika pemasukan bertambah maka
konsumsi akan bertambah juga.
2.
Kebiasaan
hidup konsumtif
Ketika
pemahaman hidup konsumstif telah mennguasai suatu kelompok, maka pemahaman
tersebut akan berubah menjadi kebiasaan dan budaya yang negatif, seiring dengan
bertambahnya minat konsumsi suatu masyarakat.
3.
Tingkatan
naik dan turunnaya harga barang
Apabila harga
suatu barang meningkat, maka dalam waktu yang sama masyarakat akan
memaksimalkan konsumsinya, begitu pula sebaliknya.
4.
Jumlah
harta kekayaan
Secara umum
masyarakat akan menabung hartanya supaya bertambah dan dapat dinikmati pada
nantinya. Ketika terdapat kelebihan yang banyak dalam jumlah hartanya maka
minat untuk menabung akan berkurang, dalam artian harta yang akan digunakannya
untuk mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa akan bertambah, begitu pula sebaliknya.
5.
Hasrat
untuk melakukan tabdzir, pemborosan dan riya’ (pamer)
Ini merupakan motif atau contoh dari
hal-hal yang tidak dibenarkan dalam syari’at dan dapat menimbulkan kemudharatan
terhadap masyarakat secara umum.
D.
Perilaku Konsumen
Islam
mengatur segenap prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian
pula dalam masalah konsumsi. Islam mengatur bagaimana manusia bisa melakukan
kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia agar berguna bagi kemaslahatan
hidupnya.[8]
Seorang
muslim dalam berkonsumsi didasarkan pada beberapa pertimbangan;[9]
1.
Manusia
tidak berkuasa sepenuhnya dalam mengatur secara detail permasalahan ekonomi
masyarakat atau Negara. Ketidakmampuan manusia dalam mengatur gejala-gejala
ekonomi dinyatakan al-Ghazali sebagai sesuatu yang alami, karena manusia
mengkondisikan pemenuhan kebutuhan hidupnya berdasarkan tempat dimana dia
hidup. Manusia tidak bisa memaksakan cara pemenuhan hidup orang lain kepada
dirinya ataupun sebaliknya. Seorang muslim akan yakin bahwa Allah akan memenuhi
segala kebutuhan hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat
10-11, “Dia menurunkan air dari langit, diantaranya untuk minuman kamu dan
diantaranya untuk tumbuh-tumbuhan, di sana kamu mengembalakan ternakmu. Dia
tumbuhkan untukmu dengan air itu tanaman, zaitun, kurma, anggur dan
bermacam-macam buah,”.
2.
Dalam
konsep islam kebutuhanlah yang membentuk pola konsumsi seorang muslim. Dimana
batas-batas fisik merefleksikan pola yang digunakan seorang muslim untuk
melakukan aktivitas konsumsi, bukan dikarenakan pengaruh yang bersifat
prioritas semata. Keadaan ini akan menghindari pola hidup yang
berlebih-lebihan, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga konsistensinya
dalam jangka panjang. Sebab, pola konsumsi yang didasarkan pada kebutuhan, akan
menghindari dari pengaruh-pengaruh pola konsumsi yang tidak perlu.
3.
Dalam
berkonsumsi seorang muslim harus menyadari bahwa ia menjadi bagian dari msyarakat.
Maka dalam berkonsumsi dituntut untuk saling menghargai dan menghormati
keberadaan sesamanya. Bila sikap saling menghargai menjadi kebiasaan dalam
suatu masyarakat, maka akan terbangun kehidupan yang berkeadilan dan terhindar
dari kesenjangan sosial. Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat: 29, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu,”.
E.
Teori Prilaku Konsumen
Teori
perilaku konsumen mempelajari bagaimana manusia memilih diantara berbagai
pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya.
Teori prilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari
pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme (kepuasan). Diprakarsai oleh Bentham
yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang
baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian
pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh
penguasa adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk melakukannya.[10]
Sedangkan
perilaku konsumen islami terbentuk dari paradigma berpikir yang sama sekali
berbeda dengan paradigma hukum permintaan yang kita kenal dalam ekonomi
konvensional. Rasionalitas yang sangat digunakan dalam teori dan alokasi sumber
daya telah menjauhkan analisis ekonomi modern dari siraman nilai-nilai
kemanusiaan dan semangat egaliter yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Pola konsumsi pada masa kini lebih menekankan aspek pemenuhan keinginan
material daripada aspek kebutuhan yang lain. Amat sedikit sekali perhatian yang
diberikan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan, hakikat dan kualitas barang dan
jasa yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan ini dan bagaimana hal itu dapat
didistribusikan secara lebih adil kepada semua anggota masyarakat.[11]
Islam
memberikan konsepa adanya an-nafs
al-muthmainnah (jiwa yang tenang ). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak
berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Tentu
saja ia tetap memerlukan semua pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani, termasuk
juga kenyamanan-kenyamanan. Tetapi pemuasan kebutuhan harus dibarengi dengan
adanya kekuatan moral , ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan
hubungan antar sesama manusia dalam sebuah masyarakat. Syari’ah Islam
menginginkan manusia untuk mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi
menggunakan istilah ‘maslahah’, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupaka
tujuan hukum syara’ yang paling utama. Menurut Imaam Shatibi, maslahah adalah
sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan
dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.[12]
F.
Pola Hidup Konsumtif dan Dampaknya[13]
Konsumtif,
dalam pandangan ekonomi adalah gaya hidup yang mengutamakan keinginan untuk
mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Sifat ini cenderung
mengabaikan faktor pendapatan dan ketersediaan sumber daya ekonomi, yang
seharusnya menjadi pertimbangan utama seseorang sebelum melakukan tindakan
konsumsi. Dalam tataran yang lebih luas, jika tidak mampu megendalikan
sifat konsumtif-nya, tentu akan menjadi bahaya komunal yang sanggup menggulung
bangsa ini pada kebangkrutan.
Dalam
perspektif psikologis, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang “sakit”
atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan (shock
culture). Pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar
berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Proses
pembentukan prilaku manusia, termasuk juga prilaku konsumerisme umumnya berasal
dari stimulus yang diterima oleh panca indera melalui proses sosial atau
melalui media audio visual yang kemudian terinternalisasi dan membentuk
kepribadian. Dewasa ini, pola hidup konsumtif sebenarnya secara pelan-pelan
sedang diajarkan oleh media, masyarakat dan bahkan sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan. Lihatlah di TV, majalah dan Koran yang setiap hari
gencar menayangkan gaya hidup glamor, penuh dengan sikap konsumtif yang
dipamerkan terang-terangan. Juga masyarakat kita adalah masyarakat yang
terlanjur mengganggap sifat tersebut sebagai bagian hidup yang wajar.
Sebuah fakta menunjukan, bahwa ukuran
seseorang dikatakan sukses apabila ia mampu menumpuk barang-barang mewah di
rumah, tanpa peduli apakah barang-barang tersebut diperoleh dengan cara
berhutang. Budaya konsumtif merupakan paradoks atas budaya produktif yang
semestinya menjadi kebiasaan bangsa yang tengah merangkak maju seperti bangsa
Indonesia. Konsumtif yang sifatnya menghabiskan sumber daya, jika tanpa
imbangan kemampuan dan kreativitas berproduksi hanya akan menggiring bangsa ini
menjadi bangsa yang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain, serta berpotensi menghilangan
sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang.
Penyelenggara pendidikan semestinya memikul
tanggung jawab pendidikan yang tidak sekadar memberikan pelajaran pengetahuan (transfer
knowledge), tapi juga sekaligus membentuk karakter anak didik yang
berjiwa produktif dengan meminimalisir sifat konsumerismenya sehingga ke depan
bangsa ini mampu bersaing dalam percaturan global. Dalam hal diatas, Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kita untuk selalu
hidup sederhana.
G. Peran
Pemerintah Dalam Konsumsi[14]
Metode ekonomi
islam telah menetapkan bahwa pemerintah memeliki peranan dalam perkembangan
pasar berdasarkan surat keterangan Hakim. Nabi Muhammad SAW sendiri telah
melakukan tugas itu, kemudian diikuti oleh para sahabat dengan membuat suatu metode
khusus. Sistem ini masih dipakai dan dijalankan hingga masa sekarang.
Pada masa
sekarang ajaran ekonomi mensyaratkan peranan pemerintah dalam mengawasi
perkembangan pasar, dengan tujuan untuk menjaga konsumen dari keluarnya sutau
barang atau jasa yang tidak memeberikan manfaat. Juga untuk menanamkan budaya
produksi kepada masyarakat dan meemberikan bimbingan dalam teori konsumsi.
Disini pemerintah juga dapat memulai untuk memeberikan suatu contoh, yaitu
melakukan bimbingan kepada masyarakat dengan menggunakan fasilitas-fasilitas
yang ada, seperti media informasi dan komunikasi.
Banyak orang beranggapan bahwa
satu-satunya yang berkewajiban memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah
organisasi konsumen. Anggapan ini tentunya tidak benar. Perlindungan konsumen
sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha,
organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari keempat
unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing maka tidaklah mudah
mewujudkan kesejahteraan konsumen. Pemerintah bertindak sebagai pengayom
masyarakat, dan juga sebagai Pembina pelaku usaha dalam meningkatkan kemajuan
industri dan perekonomian negara. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan
adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, atau
penerbitan standar mutu barang. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah
melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, ataupun standar-standar yang
telah ada.[15]
Sikap yang adil dan tidak berat
sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu
memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan kepada konsumen tidak
harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku
usaha, jadi harus ada keseimbangan. Bagi pelaku usaha atau produsen, mereka
perlu menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada
konsumen. Untuk itu mereka mempunyai kewajiban untuk memproduksi barang dan
jasa sebaik dan seaman mungkin dan berusaha untuk memberikan kepuasan kepada
konsumen. Pemberian informasi yang benar tentang produk pangan yang bersumber
dari luar negeri khususnya menjadi arti yang sangat penting. Hal ini akan
berhubungan dengan masalah keamanan, kesehatan maupun keselamatan konsumen.[16]
Hal-hal tersebut perlu disadari
produsen. Pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “konsumen” adalah “kita semua”
sangatlah penting. Suatu musibah benar-benar dapat menimpa kita semua, termasuk
juga produsen. Tidak ada satu pihak pun yang menjamin bahwa produsen tidak
dapat ditipu, dan siapa yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat terjebak
suatu transaksi atas suatu produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika.
Sebenarnya yang tidak kalah penting perannya dalam mewujudkan perlindungan
konsumen adalah konsumen itu sendiri. [17]
[1] Lihat: KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi, 27 September 2013, 13:00.
[3] Asyraf
Muhammad Dawabah, al-Iqtishad al-Islamy Madkhal wa Manhaj, (Kairo:
Darussalam, 2010), cet. I, hal. 149.
[8] Heri
Sudarsono, Konsep ekonomi Islam Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia,
2003), cet. II, hal. 167.
[10] Mustafa Edwin
Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010),
cet. III, hal. 56-57.
[13] http://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/01/31/pola-hidup-konsumtif/, 28 September 2013, 23:00.