BAB I
A.
DEFINISI
1.
Pengertian
Nikah
Secara bahasa nikah mempunyai arti
mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath’i).
Sedang menurut istilah adalah suatu
perjanjian atau aqad antara seorang pria dengan wanita untuk menghalalkan
hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung
syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at islam.
Ijab ialah suatu pernyataan berupa
penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki
dengan kata-kata tertentu maupum syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh
syara’.
Qabul ialah suatu peryataan
penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataaan wali perempuan atau
wakilnya sebagaimana yang dimaksud di atas.
Kebanyakan orang ingin menikah
disebabkan oleh:
a.
Karena
mengaharapkan harta benda
Sabda
Rasulullah saw:
مَن تزوّجَ إمراةً لِمالها لم نزده إلّا فقرًا
“
Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena kekayannya, niscaya tidak
akan bertambah kekayaaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan
didapatinya.”
b.
Karena
mengaharapkan kebangsawaannya.
Sabda
Rasulullah saw:
مَن تزوّج إمراةً لِعزّها لم نزده إلّا ذلّا
“
Barang siapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawaannya, niscaya Allah
tidak akan menambah kecuali kehinaan.”
c.
Karena
kecantikannya.
d.
Karena
agamanya
Sabda
Rasulullah saw:
مَن نكحها لِد ينهَا رِزقه الله مالها
“
Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah
mengaruniainya dengan harta.”
Dalam
pernikahan, jumhur ulama menetapkan hukum-hukum pernikahan :
a.
Sunnah
Jumhur
ulama sepakat bahwa hukum asal pernikana adalah sunah. Mereka beralasan antara
lain kepada firman Allah swt, yang artinya :
“ Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
membujang di antara kamu, da juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan; jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka atas
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) , Maha Kuasa.
(QS.
An-Nur /24 :32)
Rasulullah saw
bersabda, yang artinya:
“Wahai pemuda, siapa di anatara kamu yang
sudah mempunyai kemampuan untuk menikah, maka nikahlah, karena menikah itu
lebih memelihara pandangan mata dan mengendalikan nafsu seksual. Siapa yang
belum memiliki kemampuan, hendaklah ia berpuasa, karena puasamerupakan
penjagaan baginya.”
(
Muttafaq ‘alaih)
b.
Mubah
(boleh)
Hukum menikah
menjadi boleh bagi orang yang tidak mempunyai factor pendorong atau factor yang
melarang untuk menikah.
c.
WajibHukum
menikah menjadi wajib bagi orang yang secara jasmaniyah sudah layak untuk
menikah, secara rohaniyah sudah dewasa dan matang sera memiliki kemampuan biaya
untuk menikah dan menghidupi keluarganya.
d.
Makruh
Hukum
nikah menjadi makruh bagi laki-laki yang secara jasmaniyahsudah layak untuk
menikah, kedewasaan rohaninya sudah matang, tetapi tidak mempunyai biaya untuk
menikah dan bekal hidup rumha tangga.
e.
Haram
Hukum
menkah menjadi haram bagi laki-laki yang menikahi wanita dengan maksud
menyakiti dan mepermainkannya.
2.
Pengertian
dan Hukum Khitbah
Khitbah atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang
baik.
Hukum
meminang adalah mubah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.
Perempuan
yang akan dipinang harus memenuhi syarat:
1)
Tidak
terikat oleh akad pernikahan.
2)
Tidak
berada dalam masa iddah talak raj’i.
3)
Bukan
pinangan laki-laki lain.
b.
Cara
mengajukan pinangan:
1)
Secara
terang-terangan.
2)
Pinangan
kepada janda yang masih dalam masa iddah talak bain yang ditinggal wafat
suaminya , hanya boleh dilakukan secara sindiran saja.
Allah
SWT. Berfirman:
وَلا جُناح عليكم فِيما عَرضتم بِه مِن خطبة النّساء أوأكننتم في أ نفسكم
(البقرة :230 )
Artinya:
“ dan tidak ada
dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu
sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.”
3.
Pengertian
Mahram
Mahram
adalah perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh dinikahi. Disebabkan:
a.
Factor
keturunan
1)
Ibu.
2)
Nenek,
dan seterusnya ke atas.
3)
Anak,
cucu, dan seterusnya ke bawah.
4)
Saudara
perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
5)
Saudara
perempuan ayah.
6)
Saudara
peraempua ibu.
7)
Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan, dan seterusnya ke bawah.
b.
Factor
persusuan:
1)
Ibu
yang menyusui.
2)
Saudara
perempuan sepersusuan.
c.
Factor
perkawinan
1)
Ibu
dari istri (mertua).
2)
Anak
tiri jika ibunya sudah digauli.
3)
Istri
dari anak (menantu).
4)
Istri
bapak (ibu tiri)
BAB II
SYARAT DAN RUKUN
Rukun
nikah terdiri dari lima:
A.
Calon
suami,dengan syarat:
1.
Muslim.
2.
Merdeka.
3.
Berakal.
4.
Benar-benar
laki-laki.
5.
Adil.
6.
Tidak
beristri empat.
7.
Bukan
mahram calon istri.
8.
Tidak
sedang ihram haji atau umrah.
B.
Calon
istri, dengan syarat:
1.
Muslimah.
2.
Benar-benar
perempuan.
3.
Telah
mendapat izin dari walinya.
4.
Tidak
besuami atau dalam masa iddah.
5.
Bukan
mahram calon suami.
6.
Tidak
sedang dalam ihram haji atau umrah.
C.
Shigat
(ijab dan qabul), dengan syarat:
1.
Lafal
ijab dan qabul harus lafal nikah atau tazwij dan bukan kata-kata kinayah atau
kiasan.
2.
Lafal
ijab qabul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu.
3.
Lafal
ijab qabul harus terjadi pada satu majlis.
D.
Wali
calon pengantin perempuan, dengan syarat:
1.
Muslim.
2.
Berakal.
3.
Tidak
fasik.
4.
Laki-laki.
5.
Mempunyai
hak untuk menjadi wali.
Susunan wali:
1.
Bapaknya.
2.
Kakeknya.
3.
Saudara
laki-lakinya sekandung.
4.
Saudara
laki-laki sebapak.
5.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
6.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7.
Paman
dari bapak.
8.
Anak
laki-lakinya paman dari bapak.
9.
Hakim.
E.
Dua
orang saksi, dengan syarat:
1.
Muslim.
2.
Berakal.
3.
Baligh.
4.
Merdeka.
5.
Laki-laki.
6.
Adil.
7.
Pendengaran
dan penglihatannya sempurna.
8.
Memahami
bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul.
9.
Tidak
sedang ihram haji atau umrah.
BAB III
PRINSIP PERNIKAHAN
A. ASAS-ASAS DAN
PRINSIP PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM.
Dalam ajaran islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam
pernikahan, yaitu :
1. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak
yang mengadakan pernikahan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu
untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melakukan pernikahan
atau tidak.
2.
Tidak
semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria, sebab ada ketentuan
larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.
Pernikahan
harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyartan tertentu, baik yang
menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan
pernikahan itu sendiri.
4.
Pernikahan
pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang
tentram, damai, dan kekal untuk selama-lamanya.
5.
Hak
dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung
jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
B. ADAPUN
PRINSIP-PRINSIP ATAU ASAS-ASAS PERNIKAHAN MENURUT UNANG-UNDANG PERNIKAHAN,
DISEBUTKAN DIDALAM PENJELASAN UMUMNYA SEBAGAI BERIKUT.
1. Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu antara
suami dan isteri perlu untuk saling membantu dan saling melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai
kesejahteraan sepiritual dan material.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu
pernikahan dinyatakan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap
pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogomi, hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dikarenakan hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya maka seorang suami dapat beristeri lebih dari
seorang, namun pernikahan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun
hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila
telah terpenuhi beberapa persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan
Agama.
4. Undang-undang ini mengandung prinsip, bahwa calon
suami isteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan.
Agar dapat mewujudkan pernikahan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian dan
mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, harus ada pencegahan terhadap
pernikahan dibawah umur. Karena pernikahan itu memiliki hubungan dengan masalah
kependudukan, maka untuk memperlambat lajunya pernikahan yang semakin pesat
harus ada pencegahan terhadap pernikahan dibawah umur. Sebab batas umur yang
lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran
yang lebih tinggi, untuk itu Undang-Undang pernikahan menentukan batas umur
untuk menikah bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun
untuk wanita.
5. Karena tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera maka Undang-Undang ini menganut
prinsip untuk memprsulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu ( Pasal 19 Peraturan Pemerintah N.9 1975 )
serta harus dilakukan di depan sidang Pengailan Agama bagi orang Islam dan
Pengadilan Negri bagi golongan non islam.
6.
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam kehidupan rumah
tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami isteri. Jika kita
bandingkan antara prinsip-prinsip pernikahan menurut hukum Islam dengan
prinsip-prinsip pernikahan menurut Undang-Undang pernikahan maka dapat
dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan mendasar.
BAB IV
POLIGAMI
Poligami adalah nama yang paling populer sepanjang tahun
ini. Banyak manusia dari kalangan Awam maupun Intelektual yang ber-opini bahwa
keberhasilannya dalam hidup justru karena ia berpoligami. Padahal ternyata
lebih banyak orang yang terpuruk justru karena melakukan poligami. Kehadiran
fenomena ini melahirkan pro-kontra baik dalam masyarakat atau kaum terpelajar.
Pro kontra karena sumber pengambilannya sama, tetapi ijtihad dan pemahaman yang
berbeda. Dalam setiap praktek seperti ini alasan Agamalah yang selalu menjadi
stempel pembenaran praktek ini.
Poligami
Sejak Dahulu
Poligami beasal dari bahasa Yunani dan merupakan penggalan dari
kata poliu atau polus yang berarti banyak dan gemen atau gemes
yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan
banyak dan bisa jadi dalam jumlah tak terbatas. Term ini sebenarnya punya makna
umum yaitu memiliki dua orang atau lebih suami atau isteri pada saat bersamaan.
Tetapi pada perkembangannya, istilah ini mengalami penyempitan makna menjadi
suami yang memiliki isteri dua atau lebih pada waktu bersamaan. Sedangkan
isteri yang memiliki dua suami atau lebih secara bersamaan biasa disebut dengan
poliandri. Tetapi bentuk perkawinan seperti ini jarang di praktekkan, hanya
pada suku-suku tertentu. Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini
adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami hanya memiliki satu isteri.
Masyarakat di berbagai belahan dunia manapun telah akrab dalam
mempraktekkan perilaku poligami, bahkan jauh sebelum islam datang, agama-agama
samawi seperti Yahudi dan Kristen. Dalam Injil, eksploitasi tentang para Nabi
terdahulu memiliki banyak isteri kerap disebut, seperti Nabi Daud dan Nabi
Sulaiman yang hidup dengan memiliki banyak isteri. Bahkan Para raja di banyak Negara pun memiliki isteri
yang banyak pula. Dan banyak lagi fakta yang menunjukkan bahwa perilaku
poligami telah menjadi tradisi yang sangat biasa dalam berbagai kebudayaan
dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Arab pra-Islam, adalah masyakat yang
kelaparan, dan selalu bersaing satu sama lain, satu-satunya cara bertahan
hanyalah dengan selalu berkelompok. Kaum Nomad membentuk diri mereka menjadi
kelompok otonomi, berdasarkan hubungan darah dan keluarga. Mereka di persatukan
oleh keuturunan nenek moyang yang nyata maupun mitos. Kelompok-kelompok ini
kemudian menggabungkan diri dalam perkumpulan yang lebih besar lagi. Tidak ada
ruang bagi individualisme, karena jaminan keamanan ada pada suku. Oleh karena
itu kesetiaan pada suku dan sekutu adalah hal yang penting. Dalam rangka penanaman
semangat komunal tersebut, mereka mengembangkan ideologi muru’ah. Dalam
pengertian ini juga termasuk membalas dendam kepada suku lain yang
menyerangnya, dengan begitu dapat terjamin tatanan masyarakat.
Sementara dalam
islam, kebolehan poligami sering dirujuk pada dasar hukum yang diambil adalah
surat an-Nisa ayat 3-4.
وإن خفتم ألّا
تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطا ب لكم من النّساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم
ألّاتعدلوا فواحدةً أوماملكت أيمانكم ذلك أدنى ألّاتعولوا . النساء
Apabila kamu
khawatir tidak dapat berlaku adil pada (hak-hak) anak yatim tersebut (kalau
kamu mengawininya ), maka kawinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil maka
kawinilah satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Mayoritaas orang
meyakini bahwa ayat ini membawa kepada anjuran untuk poligami, berdasarkan qaidah
ushul fiqh al-ashlu fil amri lil-wujub ( asal dari perintah itu wajib ).
Padahal kalau diamati dalam asbab nuzul ayat tersebut, berkaitan dengan
pemeliharaan harta anak yatim. Para mufassir seperti Al-Thanthawi dalam mizan,
al-jashash bahkan at-Thabary, menyebutkan bahwa ayat ini merupakan lanjutan
dari ayat sebelumnya yaitu
واَتُوْا اليَتا مَى أَموالهم ولاتتبدّلوا الخبيث باالطيّب ولاتأ كلوا
أموا لهم إِلى أموالكم إنّه كان حوبًا كبيرًا
Dan berikanlah
kepada anak yatim ( yang sudah balig ) harta mereka, jangan kamu menukar yang
baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu,
sesungguhnya tindakan-tindakan menukar adalah dosa besar.
Al-Jashash (Ulama
Ushul dari kalangan Hanafiyah) melihat status hukum poligami hanya sebatas
boleh ( mubah ). Kebolehan yang disertai dengan syarat-syarat yang ketat.
Bahkan Al-Maraghi menggarisbawahi syarat-syarat yang diperketat tersebut dalam
keadaan yanug darurat, misalnya isteri mandul, suami memiliki kemampuan seks
yang tinggi, kaya raya dan kalau jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Lebih lanjut, Al-Qur’an
langsung menindaklanjuti ayat yang memberi hak kepada ummat muslim untuk beristeri
empat dengan kualifikasi yang harus dipertimbangkan dengan serius. Bila
laki-laki tidak yakin bisa bertindak adil maka ia harus tetap monogami. Hukum
muslim membangun ketentuan yang ketat bahwa laki-laki harus meluangkan waktu
yang sama untuk masing-masing isterinya selain memperlakukan isteri-isterinya
dari segi finansial. Laki-laki tidak boleh memiliki sifat berat sebelah, tetapi
harus menyayangi mereka sama besar.
Kualifikasi adil
menjadi tuntutan yang serius dalam hal ini. Meskipun menurut As-Syafi’I dalam
Al-Umam, adil hanya terbatas pada urusan fisik seperti mengunjungi (menggilir )
isteri dan member nafkah. Sementara Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir
mengemukakan bahwa kualifikasi sikap adil tidak saja berhubungan dengan fisik
berupa pembagian nafkah dan kunjungan sebagaimana disinyalis As-Syafi’i tetapi
juga harus dilihat dalam hal pembagian cinta kasih (hati). Karena berat dan
sulitnya merealisasikan konsep adil tersebut, para ulama dan pemikir modern
seperti Muhammad abduh, rif’at hasan dan fazlur rohman cenderung melarang
poligami bahkan haram hukumnya.
Di satu pihak Al-Qur’an
membolehkan poligami sementara dalam kesempatan lain justru mengisyaratkan
ketidakmampuan manusia untuk berlaku adil sebagaimana Firman Allah SWT dalam
surat an-Nisa: 129
وَلن
تستطيعوا أن تعدلوا بين النّساء ولو حَرِصتم فلا تميلوا كلّ الميل فتذروها كالمعلقة
وإن تصلحوا وتتّقوا فإنّ
الله كان غفورًا رَحيمًا.
Dan kamu sekali-kali tidak akan berlaku adil diantara isteri-isteri
mu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) , sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Poligami Sang Nabi
“Menikah adalah sunnahku, siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka
ia bukan golonganku” atau “Nabi juga beristeri 9” atau “menikah itu diwajibkan
bahkan sampai 4” Itu hanya segelintir kata sakti yang selalu disuarakan
laki-laki yang ingin dan telah berpoligami. Seolah-olah dalam pernikahan hanya
tuntutan sunnah dan ikut-ikutan. Tidak pernah alasan-alasan kemanusiaan
disodorkan terlebih dahulu dan sisi ini yang sering terabaikan. Padahal apa
yang dilakukan Nabi dulu justru dengsan maksud mengangkat sisi kemanusiaan
perempuan.
Selama beristeri
dengan Khadijah, nabi tidak melakukan poligami bahkan sampai Khadijah wafat.
Terhitaung selama 28 tahun, 17 tahun dijalankannya sebelum kerasulan (qobla
bi’tsah) dan 11 tahun setelah kerasulan (ba’da bi’tsah). Sebagai pemuda
yang telah mendapat posisi terhormat dari anggota masyarakat suku dengan
sebutan al-amin, serta wajah dan perilaku yang mengesankan seerta
keturunan suku yang dihormati (Quraish), Nabi dapat saja menikah lagi
dengan permpuan-perempuan yang masih muda dan cantik, mengingat Khadijah telah
uzur, atau yang bisa memberikan anak laki-laki, tetapi itu tidak dilakukan
Nabi. Padahal alasan inilah yang sering dijadikan pembenaran para suami dalam
melakukan poligami.
Dua tahun setelah
meninggalnya Siti Khadijah, Nabi menikah dengan Saudah, janda dari Sakran yang
meninggal. Pada saat itu Saudah sudah 30 tahun. Untuk mempererat persatuannya
dengan sahabat-sahabat dekatnya, nabi mengikat A’isyah anak perempuan Abu Bakar
menjadi isterinya. A’isyah berumur 9 tahun dan satu-satunya isteri Nabi yang
masih perawan. Nabi juga menikahi Hafsah anak perempuan Umar bin Khattab, suami
dari Khuanis bin Khuzaifah yang meninggal dunia setelah perang Badar. Kemudian
Nabi menikahi Zainab binti Khuzainah, janda dari Ubaidillah bin Harits, anak
perempuan kepala suku Badui dari keluarga Amir. Tetapi zainab meninggal setelah
8 bulan pernikahannya dengan Nabi. Nabi juga menikahi Hindun binti al-Mughirah
janda Abu Salamah. Ia berusia 29 tahun dan biasa dipanggil Ummu Salamah. Ia
juga saudara perempuan anggota pimpinan suku Makhzum yang sangat berpenngaruh
di Makkah. Ummu Salamah adalah isteri Nabi yang mewakili kelas Muhajirin
aristokrat Mekkah. Nabi juga meniahi Zainab binti Jahsy yang saat itu berusia
39 tahun. Kemudian Nabi menikahi Shafiah yang berusia 17 tahun anak perempuan
Huyai pemimpin Yahudi Fadak. Kemudian Ramlah yang biasa disebut Ummu Habibah,
Juwariyan binti Harits, Rayhanah binti Ziad dan terakhir Maimunah binti Harits.
Dengan bebeerapa pernikahan tersebut, Nabi ingin membangun persaudaraan
berdasarkan ideologi, tetapi hubungan darah juga diutamakan. Selain itu juga
dalam rangka memperkokoh persatuan politik antara sesama suku.
Meskipun
isteri-isteri Nabi banyak, tetapi beliau tidak pernah menceraikan mereka.
Beliau bahkan memberikan contoh kepada para sahabat dengan memperlakukan
isteri-isteri mereka dengan baik, penuh cinta kasih. Dengan menerima kritik
serta usul dari mereka. Beliau tidak memposisian diri sebagai sayyid
arab yang dilayani dan otoriter, bahkan mendorong beberapa isterinya untuk
menjadi pengganti dalam bidang agama ketika Nabi pergi berperang. Nabi selalu
memberikan ruang gerak intelektual pada A’isyah misalnya untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan keagamaan dari sahabat. Beliau mengunjungi
isteri-isterinya dengan kuantitas yang sama. Bahkan ketika Nabi sakit, beliau
selalu bertanya giliran kunjungan isteri yang mana. Beliau juga selalu
mendengarkan keluh kesah dan pengaduan dari mereka. Melalui pernikahan mereka
dengan Nabi, posisi sosial mereka menjadi tinggi dan meningkat.
Fakta di atas
setidaknya bisa dicontoh oleh masyarakat muslim yang gencar mendakwahkan poligami,
karena mmendasarkan alasan pada diri Nabi. Dari semua isteri Nabi hanya A’isyah
yang masih gadis, dan sebagian isteri Nabi sudah tidak berumur muda lagi,
misalnya sudah berusia 30 tahun, Zainab binti Jahsyi berusi 39 tahun, dan Ummu
Salamah berusia 29 tahun.
Poligami Kini
Pernikahan memang sebuah perintah yang dianjurkan oleh Nabi. Dalam
banyak hadis Nabi mendorong umatnya untuk menikah dan meninggalkan membujang,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh A’isyah:
وَعن
عا ئشة عند ابن ما جة أنّ النّبيّ صلىّ الله عليه وسلّم قال النّكاح من سنّتى فمن
لم يعمل بسنّتى فليس منّى و تزوّجوا فإ نّى مكا ثربكم الأمم ومن كان ذا طولٍ فلينكح
ومن لم يجد فعليه باالصّوم فإنّ الصّوم له .
Artinya: Dari
A’isyah dari Ibnu Majah bahwa Nabi bersabda: nikah itu merupakan sunnahku,
barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan dari golonganku, maka
menikahlah kalian.
Pernikahan
merupakan ikatan yang suci dan agung, sebagai bentuk penghormatan kepada
manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Karena ikatan pernikahan tidak
terjadi pada makhluk lain seperti binatang. Pernikahan ini dimaksudkan untuk
membangun sebuah rumah tangga yang harmonis antara anggoota di dalamnya.
Keharmonisan akan tercapai bila suami dan isteri memberi makna di dalamnya
dengan kepercayaan, kesetiaan, pengorbanan, saling menyayangi serta memegang
janji ikatan tersebut. Oleh karena itu Islam menggariskan pernikahan melalui
tata cara dan prinsip yang ditetapkan.
Diantara prinsip
itu adalah perempuan diberi hak untuk menentukan jodohnya sendiri. Padahal di
beberapa daerah banyak orang tua yang masih memaksa anaknya untuk menikah
dengan pilihan orang tua. Dengan memberikan kebebasan memilih jodoh diharapkan
calon isteri tahu bersama siapa seharusnya ia menjalani kehidupan rumah tangga.
Prinsip ini merupakan prinsip baru yang digariskan oileh Nabi setelah
sebelumnya pernikahan adalah milik ayah atau wali laki-laki pada masyarakat
Arab.
Kalau kita mau
belajar dari beberapa Negara muslim tentang pelanggaran perilaku poligami, maka
penafsiran yang kontekstual dan humanis justru yang paling dibutuhkan sekarang
ini. Tunisia misalnya, menetapkan bahwa beristeri lebih dari satu dilarang dan
bagi siapa yang melakukan perkawinan yang kedua sebelum peerkawinan yang
pertama berakhir akan dikenakan hukuman penjara 1 tahun dan denda 240.000
malim. Begitupun Pakistan, dalam hukum keluarga paskistan pada tahun 1961,
menegaskan selama masih terikat perkawinan, tidak seorang laki-lakipun boleh
melangsungkan pernikahan dengan orang lain kecuali ada izin tertulis dari dewan
arbitrase. Kalau ia melangsungkan perkawinan tanpa izin maka ia didenda
maksimal 5000 rupe. Sementara dengan syiria, Negara ini membatasi periaku
polilgami jika tidak mampu dalam bidang poligami. Bahkan ahli hukum Syiria
melangkah lebih jauh lagi dengan melarang sama sekali poligami.
Berbeda halnya
dengan Indonesia, meski UU no. 1 th. 74 pasal 3 ayat 1 pemerintah menegaskan
system monogami, tetapi pada ayat 2 justru kontradiksi, dimana pengadilan
memberi izin bagi suami untuk poligami. Pasal 3 UU no. 1/74 menegaskan poligami
dapat dilakukan dengan syarat izin pengadilan. Dari ayat ini menegaskan bahwa
poligami menjadi batal kalau pengadilan tidak member izin. Sementara dalam
komplikasi hukum Islam pasal 55 ayat 2 menegaskan bahwa syarat utama poligami
adalah suami harus adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. Kalau adil juga
berarti adil dalam cinta sebagaimana disinyalir oleh Wahbah Zuhaili dan Rasyid
Ridha, maka adil menjadi bias.
Kalau ternyata
suami berpoligami tanpa izin pengadilan dan isteri maka isteri dapat melakukan
pembatalan perkawinan sebagaimana terdapat dalam UU no.1 pasal 22 1974. Selain
pembatalan perkawinan isteri juga bisa melakukan tuntutan pidana berdasarkan
pasal 279 KUHP ayat 1.
BAB V
PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa
dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia
dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari
kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi
perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan
antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama
ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita
sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Pernikahan merupakan bagian dari
kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti
ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan
dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau
wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang
berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain,
persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat
yang majemuk.
Keadaan
masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin
luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih
dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat
sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh
masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau
pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan
gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan
perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki
argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka
masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Bagaimana sebenarnya dalam
perspektif Islam yang benar mengenai status perbedaan agama?
1)Pernikahan
Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Tentang status
pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman Allah
Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ
الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ
إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”
(QS. Al Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari
ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian:
1) Bagian
pertama pada ayat,
فَلَا
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Janganlah kamu kembalikan mereka
(wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir”
2) Bagian kedua
pada ayat,
لَا هُنَّ حِلٌّ
لَهُمْ
“Mereka (wanita mukmin) tiada halal
bagi orang-orang kafir itu”
Dari dua sisi
ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non
muslim (agama apa pun itu).
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki
non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk
larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al
Baqarah(2):221,
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Penjelasan
Ulama Islam Tentang Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
·
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت العلماء
على أنّ المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام
“Para ulama
kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi
(menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja
merendahkan martabat Islam.”
·
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
mengatakan,
وكما أنّ
المسلمة لا تحلّ للكافر، فكذلك الكافرة لا تحلّ للمسلم أن يمسكها ما دامت على
كفرها، غير أهل الكتاب
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi
laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim
untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab
(dinikahkan dengan pria muslim).”
Oleh
karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka
nikahnya batil (tidak sah) dan dianggap berzina.
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab,
namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa
atas istrinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Sehingga suami dapat
memberi pengaruh kepada istri.
2)Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
Diperbolehkan pria muslim menikahi
wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita
yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan
anak-anaknya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
”Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan bagimu menikahi)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5).
Yang dimaksud di sini, seorang pria
muslim diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan
sunnah, hanya diperbolehkan saja. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh
pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah.
Terdapat beberapa
pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah penganut injil ataupun taurat
yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang dimaksud disini ialah mereka yang
bersyahadat Mengakui adanya ALLAH akan tetapi tidak mengakui adanya Nabi
Muhammad SAW. Dan sebagian ulama menafsirkan bahwa Ahli Kitab di sini adalah
penganut Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal
dari sumber yg sama, agama samawi(langit), maka para ulama memperbolehkan
pernikahan jenis ini.
Dan yang dimaksud
dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Maka, selain
ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut musyrik, haram untuk
dinikahi. Karena mereka termasuk agama ardhi (bumi) ). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu
bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para
tokoh mereka dan filosof mereka.
Menurut para ulama, laki-laki muslim
sama sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama
Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.
BAB IV
HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan
dalm Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam menganjurkan umatnya
untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya; hidup menikah dan
tinggal bersama orang-orang yang dicintai. Berikut ini beberapa hikmah pernikahan
dalam agama Islam :
1)
Menikah
akan meninggikan harkat dan martabat manusia,
Lihatlah bagaimana kehidupan
manusia-manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui
bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama
liarnya dengan nafsu yang tak bisa mereka kandangkan. Menikah menjadikan harkat
dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan
terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang, apabila ia mampu
menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2)
Menikah
memuliakan kaum wanita,
Mereka akan ditempatkan
sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga.
3)
Menikah
adalah cara melanjutkan keturunan;
4)
Wujud
kecintaan Allah pada mahluk-Nya untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis
secara terhormat dan baik;
Inilah bukti kecintaan Allah
terhadap mahluk-Nya, dengan memberikan cara bagi mahluk-Nya untuk dapat
memenuhi kebutuhan manusiawi sorang mahluk. Dalam wujud kecintaan itu,
dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan melalui
adanya pernikahan. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan
ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
5)
Upaya
menghindarkan diri dari perbuatan maksiat,
6)
Terwujudnya
kehidupan yg tenang dan tentram, cinta dan kasih sayang diantara sesama,
7)
Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi
lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung
jawab, baik dalam hubungan suami istri maupun orang tua dan anak,
8)
Memperkokoh tali persaudaraan.
KESIMPULAN
1.
menurut
istilah, Pernikahan adalah suatu
perjanjian atau aqad antara seorang pria dengan wanita untuk menghalalkan
hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung
syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at islam.
2.
Khitbah
atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik dan Hukum meminang
adalah mubah dengan ketentuan-ketentuan yang dijelaskan menurut syari’at islam.
3.
Dalam syari’at islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam
perkawinan, diantaranya yaitu Harus ada persetujuan secara sukarela dari
pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranya adalah diadakan peminangan
terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk
melakukan pernikahan atau tidak.
4.
Poligami
beasal dari bahasa Yunani dan merupakan penggalan dari kata poliu atau polus
yang berarti banyak dan gemen atau gemes yang berarti
perkawinan. Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan banyak dan bisa
jadi dalam jumlah tak terbatas.
5.
Hukum
mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah
jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya
muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221.
6.
Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli
kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu
menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya
sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5.
7.
Diantara
hikmah dari pernikahan yaitu, akan meninggikan harkat dan martabat manusia,
dapat memuliakan kaum wanita, Wujud kecintaan Allah kepada makhluk-Nya untuk
dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik, Upaya
menghindarkan diri dari perbuatan maksiat, Terwujudnya kehidupan yg tenang dan
tentram, cinta dan kasih sayang diantara sesama, Membuat ritme kehidupan
seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian
serta tanggung jawab dan memperkokoh tali persaudaraan.
DAFTAR PUSTAKA
v WWW. ARTIKEL HUKUM PERDATA. COM
v WWW. PERNIKAHAN BEDA AGAMA.COM
v Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar al-kitab
al-Islamiyah, tt)
v Dr. Sri mulyani, Editor, Relasi Suami Isteri dalam Islam Pusat
Study Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004
v H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 1996 Jakarta