Mengurai Benang
Kusut Perpolitikan Indonesia
Indonesia memiliki sejarah perpolitikan yang cukup lama ketika dibacakan
proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Semenjak itulah Indonesia telah memulai
sejarah perpolitikannya. ketika presiden Soekarno mendirikan Partai Nasionalis
Indonesia (PNI), maka ketika itulah beliau telah membuka pandangan terhadap para
tokoh-tokoh bangsa untuk bersama membangun semangat perpolitikan negara. Yaitu
bersama membangun bangsa menjadi negara yang makmur, adil dan sejahtera.
Pasca rezim orde baru, bangsa Indonesia mulai melebarkan sayapnya
kembali dalam urusan politik praktis. Kebebasan dibuka seluas-luasnya. Seperti
kebebasan pers, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan bahkan kebebasan
mendirikan partai politik mulai di berlakukan, itu semua dilakukan demi terwujudnya bangsa yang benar-benar
demokratis dan memiliki ciri khas tersendiri. Pasalnya, pada masa orde baru
segala hal yang berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah dinafikan, dan
segala sesuatu yang bertentangan dengannya tak segan-segan disingkirkan. ini membuktikan betapa kuatnya pemerintah dalam
mengekang kebebasan pers dan berpendapat. Tentu saja kondisi ini menjadi sangat
dilematis bagi para jurnalis dan pecinta kebebasan berpendapat. Sedikit saja
kritik melayang kepada pemerintahan orde baru, kemungkinan besar akan berujung
di dalam penjara. Sungguh masa-masa yang sangat sulit bagi kebebasan
berpendapat (termasuk pers) di Indonesia.
Seiring
berjalannya proses perpolitikan pasca orde baru, ditandai dengan menggeliatnya
semangat berdemokrasi. Indonesia kembali dihadapkan dengan berbagai
permasalahan yang mencoreng kinerja pemerintahan. Semangat membangun kembali
negara yang adil, makmur dan sejahtera mulai diragukan kembali oleh masyarakat.
Itu ditandai dengan banyaknya penyelewengan dalam prakteknya. Seperti halnya
partai-partai politik yang mulai kehilangan arah dan fungsi utamanya. kemudian prakrek jual beli kepentingan demi
keuntungan individu ataupun kelompok pun mulai merajalela di kalangan elite
politik. Dari hal-hal tersebut muncul-lah dampak negatif terhadap kesetabilan
proses perpolitikan di Indonesia, seperti merebaknya para politisi dadakan
bukan negarawan yang di idam-idamkan. Menjamurnya skandal money politik hingga
penyalahgunaan media cetak ataupun media elektronik untuk kepentingan sebagian
kelompok atau partai-partai tertentu.
Menyikapi
kejadian-kejadian tersebut, alangkah baiknya jika kita kembali kepada ideologi
politik itu sendiri. Menurut Prof. Miriam Budiardjo, guru besar ilmu politik
Universitas Indonesia, dasar dari ideologi politik adalah keyakinan akan adanya
suatu pola tata-tertib sosial politik yang ideal. Ideologi politik mencakup
pembahasan dan diagnosa, serta saran-saran mengenai bagaimana mencapai tujuan
ideal itu. Ideologi berbeda dengan filsafat yang sifatnya merenung-renung tanpa
mempunyai tujuan untuk menggerakkan kegiatan atau aksi. Ideologi yang
berkembang luas mau tidak mau dipengaruhi oleh kejadian-kejadian dan
pengalaman-pengalaman dalam masyarakat dimana dia berada, dan harus sering
mengadakan kompromi dan perubahan-perubahan yang cukup luas dan signifikan.
Namun, segala permasalahan politik yang kita lihat
sekarang. Seakan-akan mengisyaratkan pada kita semua bahwa terdapat benang kusut dalam proses perpolitikan saat ini. Memang
demokrasi telah menemukan kebebasaannya. Namun, perkembangannya belum terarah
secara baik dan maksimal, penyelewangan atas aspirasi, kepentingan, dan
kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik. Institusi pemerintah
tidak jarang dalam posisi yang tidak berdaya menghadapi kebebasan yang
terkadang melebihi batas kepatutan.seperti tindakan-tindakan anarkis yang
sering terjadi.
Kebebasan berdemokrasi dalam perpolitikan, membuat Indonesia terjebak dalam sebuah sistem
“politik kebablasan” banyaknya
penyimpangan yang mengatasnamakan politik seolah mengalahkan UU yang dibuat.
System politik yang seakan terlalu bebas ini juga menjadikan masalah baru bagi
masyarakat yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berpolitik justru membuat
rakyat miskin makin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama
dalam berpolitik selayaknya masyarakat kalangan elit. Seperti dalam Pemilu dan
Pemilukada, rakyat kalangan kelas bawah yang kurang mendapat informasi akhirnya
harus diiming-imingi oleh uang. Adanya kesenjangan sosial yang cukup jauh ini,
menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah. Seperti permasalahan money
politic yang mengakar dalam sistem perpolitikan di negara ini.
Jika
kita ingin menganalisa lebih jauh terkait penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh para elite politik, pastinya tidak terlepas dari sebab-sebab
yang mengiringinya. Seperti halnya parpol-parpol yang kehilangan arah dan
fungsi utamanya, karena salah satu fungsi utamanya yaitu, sebagai penghubung
antara pemerintah dengan warga masyarakat. Sehingga terjadi arus informasi
serta dialog dari atas kebawah dan dari bawah keatas. Akan tetapi, fungsi
tersebut bertolak belakang dengan apa yang kita lihat sekarang, hal semacam ini
dapat disebabkan oleh banyaknya jumlah partai politik sehingga persaingan untuk
meraih kekuasaan dan mengambil simpati masyarakat semakin kuat. Dampaknya,
partai-partai politik justru lebih banyak mengutamakan urusan partainya ketimbang
sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Kemudian munculnya praktek jual beli
kepentingan pun tidak bisa kita nafikan, dan telah banyak terjadi pasca
reformasi. Itu semua bisa disebabkan minimnya pengawasan dari DPR terhadap
kinerja pemerintah, atau disebabkan oleh mulai pudarnya jiwa nasionalis pada
kalangan elite politik shingga muncul beberapa oknum yang memanfaatkan
kesempatan tersebut. hal-hal semacam ini dapat menimbulkan dampak-dampak buruk
terhadap dinamika perpolitikan di Indonesia
Indonesia
butuh negarawan sejati. Mungkin inilah kalimat yang cocok untuk menggambarkan
keadaan para politisi kita saat ini. Yakni seseorang yang mempunyai semangat
juang tinggi guna kepentingan negara, sosok yang dengan tulus bergerak demi
keutuhan bangsa dan negara.ia bukanlah politisi yang selalu mengumbar janji
pada saat pemilu. Ia juga bukan para pejabat yang sering menutup telinga disaat
jutaan rakyat menjerit. Apalagi para koruptor yang tega memakan uang hasil
keringat rakyatnya sendiri. Namun mahalnya biaya pemilu memang bisa menjadi
sebab para politisi tersebut kehilangan orientasi kenegarawannya, sehingga yang
dipikirkannya yaitu bagaimana mengembalikan modal tersebut. Sungguh ironi.
Sebagai
ulama besar sekaligus negarawan Buya Hamka berpendapat bahwa yang terpenting
bagi seorang elite politik dan penguasa
pemerintahan adalah harus berlaku jujur, adil, bertaqwa kepada Allah, tidak
bertindak gegabah, memenuhi janji, cinta damai serta tidak memandang ringan
terhadap dosa dan tidak bakhil. Hal ini menunjukkan bahwa politik yang baik
adalah politik yang dilandasi dengan etika, dengan begitu tentu politik akan
lebih baik dan bersahaja. Realita dalam kehidupan menunjukkan kepada publik
bahwa dalam sebuah jaringan dan jalinan hubungan persaudaraan kita perlu
mengedepankan rasa saling menghormati, saling menghargai, dan saling memahami.
Di sinilah perlunya peran akal di dalam pergaulan, sehingga bangunan hubungan
sosial semakin sempurna, kuat dan kukuh. Pernyataan ini juga sejalan dengan
pemikiran komaruddin hidayat yang mengatakan bahwa etika merupakan point yang
sangat penting jika ingin merekonstruksi nilai-nilai luhur dalam politik di
Indonesia.
Menurut
Yusuf Qhardawi negara yang islami adalah negara yang menjamin penuh hak-hak dan
kebebasan, seperti hak hidup dengan layak, hak kepemilikan harta serta hak
menjaga kehormatan dan nasab. Demikian juga halnya dengan kebebasan
berekspresi, berpendapat, beragama, bermazhab, berfikir dan berijtihad. Negara
islam juga menjaga nilai dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
islam tidak mengenal penghalalan segala cara meski untuk tujuan yang mulia,
sperti yang dilakukan oleh para politisi kita saat ini yang menghalalkan segala
cara untuk bisa duduk di kursi legislatif.
Untuk mengatasi jual bei kepentingan pada
kalangan elite politik perlu di buat garis demarkasi yang jelas antara
kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan partai politik dalam hal ini
tidak boleh ada status ganda sebagai anggota parpol sekaligus sebagai pemimpin.
Misalnya ketika anggota parpol terpilih sebagai pemimpin (presiden, bupati,
anggota DPR, atau apapun) maka secara otomatis keanggotaan di partai harus
ditinggalkan dan aturan tersebut harus direalisasikan dalam bentuk
undang-undang.
Untuk mengatasi money politik, kita sebagai
masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam mengkaji keputusan mahkamah
konstitusi untuk menyelesaikan kasus-kasus pemilu, agar tidak menyimpang dari
peraturan hukum yang berlaku. Calon dalam pemilu juga harus komitmen untuk
benar-benar tidak melakukan praktek money politik, apabila terbukti melakukan
maka seharusnya didiskualifikasi. Kemudian membentuk badan khusus independen
untuk mengawasi calon-calon pemilu agar menaati peraturan-peraturan terutama
untuk tidak melakukan money politik. Meningkatkan kesadaran merupakan indikator
penting untuk memudarkan perkembangan money politik, karena sebagian besar
masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa menyadari efek yang timbul
di masa depan. Sebaiknya pemrintah mengadakan sosialisai pemilu yang bersih dan
bebas money politik kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat
dalam perpolitikan meningkat
Bukanlah hal yang mudah dalam menghasilkan
negarawan muda, namun bukan pula hal yang sulit dalam berproses untuk
melahirkan negarawan muda, jika semua element masyarakat ikut serta
mempersiapkannya dalam rangka membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Negarawan
muda yang dimaksud disini bukanlah negarawan yang “abal-abal” melainkan
negarawan muda yang memiliki loyalitas dan integritas tinggi di mata
masyarakat. Oleh karna itu dalam proses melahirkan negarawan muda tidaklah
instan, perlu disiapkan dan butuh proses mulai saat ini hingga pada akhirnya
ditemukan seorang yang benar-benar menjadi negarawan muda, negarawan yang
memiliki semangat kebangsaan tinggi dan bisa menjadi solusi atas permasalahan
bangsa yang hingga saat ini masih mengakar kuat di bumi Indonesia.
Sikap nasionalis dari negarawan muda bisa menjadi
tolak ukur sejauh mana keberhasilan bangsa ini dalam menghasilkan negarawan
muda yang mutlak akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Sikap nasionalis
sendiri diperoleh dari proses belajar yang dilakukan secara terus menerus.
Dalam melahirkan negarawan muda harus melalui beberapa tahapan, yaitu melalui
pendidikan yang berasaskan pancasila, gerakan nasionalis yang solid dan
terstruktur serta karakter yang berkompeten.
Lebih dari enam dasawarsa sejak proklamasi
kemerdekaan 1945 bangsa ini berjalan, sebagai bangsa kita perlu menengok
kebelakang dan melakukan refeksi diri, kini saatnya kita menyadari kembali bahwa
bangsa ini adalah bangsa yang terbangun dari hasil serangkaian interaksi
panjang, kini saat yang tepat bagi kita untuk memikirkan nasib bangsa kedepan.
Para pemimpin dan tokoh masyarakat semakin nyata dituntut untuk melakukan
intropeksi diri untuk membangun kembali bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
berkarakter, adil, makmur dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar