Rabu, 26 Desember 2012

Makalah bab nikah



BAB I
A.    DEFINISI
1.      Pengertian Nikah
Secara bahasa nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath’i). Sedang  menurut istilah adalah suatu perjanjian atau aqad antara seorang pria dengan wanita untuk menghalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at islam.
Ijab ialah suatu pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupum syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
Qabul ialah suatu peryataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataaan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana yang dimaksud di atas.
Kebanyakan orang ingin menikah disebabkan oleh:
a.       Karena mengaharapkan harta benda
Sabda Rasulullah saw:
مَن تزوّجَ إمراةً لِمالها لم نزده إلّا فقرًا  

“ Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena kekayannya, niscaya tidak akan bertambah kekayaaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan didapatinya.”

b.      Karena mengaharapkan kebangsawaannya.
Sabda Rasulullah saw:
مَن تزوّج إمراةً لِعزّها لم نزده إلّا ذلّا
“ Barang siapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawaannya, niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan.”

c.       Karena kecantikannya.
d.      Karena agamanya
Sabda Rasulullah saw:
مَن نكحها لِد ينهَا رِزقه الله مالها
“ Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah mengaruniainya dengan harta.”

                                                                                                                        Dalam pernikahan, jumhur ulama menetapkan hukum-hukum pernikahan :
a.       Sunnah
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum asal pernikana adalah sunah. Mereka beralasan antara lain kepada firman Allah swt, yang artinya :
     “ Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, da juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu  yang laki-laki dan perempuan; jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka atas karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) , Maha Kuasa.
(QS. An-Nur /24 :32)

Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
     “Wahai pemuda, siapa di anatara kamu yang sudah mempunyai kemampuan untuk menikah, maka nikahlah, karena menikah itu lebih memelihara pandangan mata dan mengendalikan nafsu seksual. Siapa yang belum memiliki kemampuan, hendaklah ia berpuasa, karena puasamerupakan penjagaan baginya.”
( Muttafaq ‘alaih)

b.      Mubah (boleh)
Hukum menikah menjadi boleh bagi orang yang tidak mempunyai factor pendorong atau factor yang melarang untuk menikah.

c.       WajibHukum menikah menjadi wajib bagi orang yang secara jasmaniyah sudah layak untuk menikah, secara rohaniyah sudah dewasa dan matang sera memiliki kemampuan biaya untuk menikah dan menghidupi keluarganya.
d.      Makruh
Hukum nikah menjadi makruh bagi laki-laki yang secara jasmaniyahsudah layak untuk menikah, kedewasaan rohaninya sudah matang, tetapi tidak mempunyai biaya untuk menikah dan bekal hidup rumha tangga.
e.       Haram
Hukum menkah menjadi haram bagi laki-laki yang menikahi wanita dengan maksud menyakiti dan mepermainkannya. 




2.      Pengertian dan Hukum Khitbah
Khitbah atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik.
Hukum meminang adalah mubah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.       Perempuan yang akan dipinang harus memenuhi syarat:
1)      Tidak terikat oleh akad pernikahan.
2)      Tidak berada dalam masa iddah talak raj’i.
3)      Bukan pinangan laki-laki lain.
b.      Cara mengajukan pinangan:
1)      Secara terang-terangan.
2)      Pinangan kepada janda yang masih dalam masa iddah talak bain yang ditinggal wafat suaminya , hanya boleh dilakukan secara sindiran saja.


Allah SWT. Berfirman:
وَلا جُناح عليكم فِيما عَرضتم بِه مِن خطبة النّساء أوأكننتم في أ نفسكم
(البقرة :230 )
                             Artinya:
“ dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.”

3.      Pengertian Mahram
Mahram adalah perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh dinikahi. Disebabkan:
a.       Factor keturunan
1)      Ibu.
2)      Nenek, dan seterusnya ke atas.
3)      Anak, cucu, dan seterusnya ke bawah.
4)      Saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
5)      Saudara perempuan ayah.
6)      Saudara peraempua ibu.
7)      Anak perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan, dan seterusnya ke bawah.
b.      Factor persusuan:
1)      Ibu yang menyusui.
2)      Saudara perempuan sepersusuan.
c.       Factor perkawinan
1)      Ibu dari istri (mertua).
2)      Anak tiri jika ibunya sudah digauli.
3)      Istri dari anak (menantu).
4)      Istri bapak (ibu tiri)


BAB II
SYARAT DAN RUKUN
Rukun nikah terdiri dari lima:
A.    Calon suami,dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Merdeka.
3.      Berakal.
4.      Benar-benar laki-laki.
5.      Adil.
6.      Tidak beristri empat.
7.      Bukan mahram calon istri.
8.      Tidak sedang ihram haji atau umrah.
B.     Calon istri, dengan syarat:
1.      Muslimah.
2.      Benar-benar perempuan.
3.      Telah mendapat izin dari walinya.
4.      Tidak besuami atau dalam masa iddah.
5.      Bukan mahram calon suami.
6.      Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
C.     Shigat (ijab dan qabul), dengan syarat:
1.      Lafal ijab dan qabul harus lafal nikah atau tazwij dan bukan kata-kata kinayah atau kiasan.
2.      Lafal ijab qabul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu.
3.      Lafal ijab qabul harus terjadi pada satu majlis.
D.    Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Berakal.
3.      Tidak fasik.
4.      Laki-laki.
5.      Mempunyai hak untuk menjadi wali.
Susunan wali:
1.      Bapaknya.
2.      Kakeknya.
3.      Saudara laki-lakinya sekandung.
4.      Saudara laki-laki sebapak.
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7.      Paman dari bapak.
8.      Anak laki-lakinya paman dari bapak.
9.      Hakim.
E.     Dua orang saksi, dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Berakal.
3.      Baligh.
4.      Merdeka.
5.      Laki-laki.
6.      Adil.
7.      Pendengaran dan penglihatannya sempurna.
8.      Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul.
9.      Tidak sedang ihram haji atau umrah.

BAB III
PRINSIP PERNIKAHAN
A.    ASAS-ASAS DAN PRINSIP PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM.
Dalam ajaran islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam pernikahan, yaitu :
1.      Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melakukan pernikahan atau tidak.
2.      Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.      Pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyartan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan pernikahan itu sendiri.
4.      Pernikahan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tentram, damai, dan kekal untuk selama-lamanya.
5.      Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

B.     ADAPUN PRINSIP-PRINSIP ATAU ASAS-ASAS PERNIKAHAN MENURUT UNANG-UNDANG PERNIKAHAN, DISEBUTKAN DIDALAM PENJELASAN UMUMNYA SEBAGAI BERIKUT.
1.      Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu  antara suami dan isteri perlu untuk saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan sepiritual dan material.
2.      Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu pernikahan dinyatakan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3.      Undang-undang ini menganut asas monogomi, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dikarenakan hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya maka seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang, namun pernikahan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila telah terpenuhi beberapa persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
4.      Undang-undang ini mengandung prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Agar dapat mewujudkan pernikahan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, harus ada pencegahan terhadap pernikahan dibawah umur. Karena pernikahan itu memiliki hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk memperlambat lajunya pernikahan yang semakin pesat harus ada pencegahan terhadap pernikahan dibawah umur. Sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, untuk itu Undang-Undang pernikahan menentukan batas umur untuk menikah bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
5.      Karena tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk memprsulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu ( Pasal 19 Peraturan Pemerintah N.9 1975 ) serta harus dilakukan di depan sidang Pengailan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negri bagi golongan non islam.
6.      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam kehidupan rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami isteri. Jika kita bandingkan antara prinsip-prinsip pernikahan menurut hukum Islam dengan prinsip-prinsip pernikahan menurut Undang-Undang pernikahan maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan mendasar.

BAB IV
POLIGAMI
Poligami adalah nama yang paling populer sepanjang tahun ini. Banyak manusia dari kalangan Awam maupun Intelektual yang ber-opini bahwa keberhasilannya dalam hidup justru karena ia berpoligami. Padahal ternyata lebih banyak orang yang terpuruk justru karena melakukan poligami. Kehadiran fenomena ini melahirkan pro-kontra baik dalam masyarakat atau kaum terpelajar. Pro kontra karena sumber pengambilannya sama, tetapi ijtihad dan pemahaman yang berbeda. Dalam setiap praktek seperti ini alasan Agamalah yang selalu menjadi stempel pembenaran praktek ini.
Poligami Sejak Dahulu
Poligami beasal dari bahasa Yunani dan merupakan penggalan dari kata poliu atau polus yang berarti banyak dan gemen atau gemes yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah tak terbatas. Term ini sebenarnya punya makna umum yaitu memiliki dua orang atau lebih suami atau isteri pada saat bersamaan. Tetapi pada perkembangannya, istilah ini mengalami penyempitan makna menjadi suami yang memiliki isteri dua atau lebih pada waktu bersamaan. Sedangkan isteri yang memiliki dua suami atau lebih secara bersamaan biasa disebut dengan poliandri. Tetapi bentuk perkawinan seperti ini jarang di praktekkan, hanya pada suku-suku tertentu. Adapun kebalikan dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami hanya memiliki satu isteri.
Masyarakat di berbagai belahan dunia manapun telah akrab dalam mempraktekkan perilaku poligami, bahkan jauh sebelum islam datang, agama-agama samawi seperti Yahudi dan Kristen. Dalam Injil, eksploitasi tentang para Nabi terdahulu memiliki banyak isteri kerap disebut, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang hidup dengan memiliki banyak isteri. Bahkan  Para raja di banyak Negara pun memiliki isteri yang banyak pula. Dan banyak lagi fakta yang menunjukkan bahwa perilaku poligami telah menjadi tradisi yang sangat biasa dalam berbagai kebudayaan dalam masyarakat.
Sementara masyarakat Arab pra-Islam, adalah masyakat yang kelaparan, dan selalu bersaing satu sama lain, satu-satunya cara bertahan hanyalah dengan selalu berkelompok. Kaum Nomad membentuk diri mereka menjadi kelompok otonomi, berdasarkan hubungan darah dan keluarga. Mereka di persatukan oleh keuturunan nenek moyang yang nyata maupun mitos. Kelompok-kelompok ini kemudian menggabungkan diri dalam perkumpulan yang lebih besar lagi. Tidak ada ruang bagi individualisme, karena jaminan keamanan ada pada suku. Oleh karena itu kesetiaan pada suku dan sekutu adalah hal yang penting. Dalam rangka penanaman semangat komunal tersebut, mereka mengembangkan ideologi muru’ah. Dalam pengertian ini juga termasuk membalas dendam kepada suku lain yang menyerangnya, dengan begitu dapat terjamin tatanan masyarakat.
            Sementara dalam islam, kebolehan poligami sering dirujuk pada dasar hukum yang diambil adalah surat an-Nisa ayat 3-4.
وإن خفتم ألّا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطا ب لكم من النّساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألّاتعدلوا فواحدةً أوماملكت أيمانكم ذلك أدنى ألّاتعولوا . النساء
            Apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil pada (hak-hak) anak yatim tersebut (kalau kamu mengawininya ), maka kawinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil maka kawinilah satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
            Mayoritaas orang meyakini bahwa ayat ini membawa kepada anjuran untuk poligami, berdasarkan qaidah ushul fiqh al-ashlu fil amri lil-wujub ( asal dari perintah itu wajib ). Padahal kalau diamati dalam asbab nuzul ayat tersebut, berkaitan dengan pemeliharaan harta anak yatim. Para mufassir seperti Al-Thanthawi dalam mizan, al-jashash bahkan at-Thabary, menyebutkan bahwa ayat ini merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yaitu
واَتُوْا اليَتا مَى أَموالهم ولاتتبدّلوا الخبيث باالطيّب ولاتأ كلوا أموا لهم إِلى أموالكم إنّه كان حوبًا كبيرًا
            Dan berikanlah kepada anak yatim ( yang sudah balig ) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu, sesungguhnya tindakan-tindakan menukar adalah dosa besar.
            Al-Jashash (Ulama Ushul dari kalangan Hanafiyah) melihat status hukum poligami hanya sebatas boleh ( mubah ). Kebolehan yang disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Bahkan Al-Maraghi menggarisbawahi syarat-syarat yang diperketat tersebut dalam keadaan yanug darurat, misalnya isteri mandul, suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, kaya raya dan kalau jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
            Lebih lanjut, Al-Qur’an langsung menindaklanjuti ayat yang memberi hak kepada ummat muslim untuk beristeri empat dengan kualifikasi yang harus dipertimbangkan dengan serius. Bila laki-laki tidak yakin bisa bertindak adil maka ia harus tetap monogami. Hukum muslim membangun ketentuan yang ketat bahwa laki-laki harus meluangkan waktu yang sama untuk masing-masing isterinya selain memperlakukan isteri-isterinya dari segi finansial. Laki-laki tidak boleh memiliki sifat berat sebelah, tetapi harus menyayangi mereka sama besar.
            Kualifikasi adil menjadi tuntutan yang serius dalam hal ini. Meskipun menurut As-Syafi’I dalam Al-Umam, adil hanya terbatas pada urusan fisik seperti mengunjungi (menggilir ) isteri dan member nafkah. Sementara Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Munir mengemukakan bahwa kualifikasi sikap adil tidak saja berhubungan dengan fisik berupa pembagian nafkah dan kunjungan sebagaimana disinyalis As-Syafi’i tetapi juga harus dilihat dalam hal pembagian cinta kasih (hati). Karena berat dan sulitnya merealisasikan konsep adil tersebut, para ulama dan pemikir modern seperti Muhammad abduh, rif’at hasan dan fazlur rohman cenderung melarang poligami bahkan haram hukumnya.
            Di satu pihak Al-Qur’an membolehkan poligami sementara dalam kesempatan lain justru mengisyaratkan ketidakmampuan manusia untuk berlaku adil sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa: 129
وَلن تستطيعوا أن تعدلوا بين النّساء ولو حَرِصتم فلا تميلوا كلّ الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا وتتّقوا  فإنّ الله كان غفورًا رَحيمًا.
              Dan kamu sekali-kali tidak akan berlaku adil diantara isteri-isteri mu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) , sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Poligami Sang Nabi
              “Menikah adalah sunnahku, siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan golonganku” atau “Nabi juga beristeri 9” atau “menikah itu diwajibkan bahkan sampai 4” Itu hanya segelintir kata sakti yang selalu disuarakan laki-laki yang ingin dan telah berpoligami. Seolah-olah dalam pernikahan hanya tuntutan sunnah dan ikut-ikutan. Tidak pernah alasan-alasan kemanusiaan disodorkan terlebih dahulu dan sisi ini yang sering terabaikan. Padahal apa yang dilakukan Nabi dulu justru dengsan maksud mengangkat sisi kemanusiaan perempuan.
              Selama beristeri dengan Khadijah, nabi tidak melakukan poligami bahkan sampai Khadijah wafat. Terhitaung selama 28 tahun, 17 tahun dijalankannya sebelum kerasulan (qobla bi’tsah) dan 11 tahun setelah kerasulan (ba’da bi’tsah). Sebagai pemuda yang telah mendapat posisi terhormat dari anggota masyarakat suku dengan sebutan al-amin, serta wajah dan perilaku yang mengesankan seerta keturunan suku yang dihormati (Quraish), Nabi dapat saja menikah lagi dengan permpuan-perempuan yang masih muda dan cantik, mengingat Khadijah telah uzur, atau yang bisa memberikan anak laki-laki, tetapi itu tidak dilakukan Nabi. Padahal alasan inilah yang sering dijadikan pembenaran para suami dalam melakukan poligami.
              Dua tahun setelah meninggalnya Siti Khadijah, Nabi menikah dengan Saudah, janda dari Sakran yang meninggal. Pada saat itu Saudah sudah 30 tahun. Untuk mempererat persatuannya dengan sahabat-sahabat dekatnya, nabi mengikat A’isyah anak perempuan Abu Bakar menjadi isterinya. A’isyah berumur 9 tahun dan satu-satunya isteri Nabi yang masih perawan. Nabi juga menikahi Hafsah anak perempuan Umar bin Khattab, suami dari Khuanis bin Khuzaifah yang meninggal dunia setelah perang Badar. Kemudian Nabi menikahi Zainab binti Khuzainah, janda dari Ubaidillah bin Harits, anak perempuan kepala suku Badui dari keluarga Amir. Tetapi zainab meninggal setelah 8 bulan pernikahannya dengan Nabi. Nabi juga menikahi Hindun binti al-Mughirah janda Abu Salamah. Ia berusia 29 tahun dan biasa dipanggil Ummu Salamah. Ia juga saudara perempuan anggota pimpinan suku Makhzum yang sangat berpenngaruh di Makkah. Ummu Salamah adalah isteri Nabi yang mewakili kelas Muhajirin aristokrat Mekkah. Nabi juga meniahi Zainab binti Jahsy yang saat itu berusia 39 tahun. Kemudian Nabi menikahi Shafiah yang berusia 17 tahun anak perempuan Huyai pemimpin Yahudi Fadak. Kemudian Ramlah yang biasa disebut Ummu Habibah, Juwariyan binti Harits, Rayhanah binti Ziad dan terakhir Maimunah binti Harits. Dengan bebeerapa pernikahan tersebut, Nabi ingin membangun persaudaraan berdasarkan ideologi, tetapi hubungan darah juga diutamakan. Selain itu juga dalam rangka memperkokoh persatuan politik antara sesama suku.    
              Meskipun isteri-isteri Nabi banyak, tetapi beliau tidak pernah menceraikan mereka. Beliau bahkan memberikan contoh kepada para sahabat dengan memperlakukan isteri-isteri mereka dengan baik, penuh cinta kasih. Dengan menerima kritik serta usul dari mereka. Beliau tidak memposisian diri sebagai sayyid arab yang dilayani dan otoriter, bahkan mendorong beberapa isterinya untuk menjadi pengganti dalam bidang agama ketika Nabi pergi berperang. Nabi selalu memberikan ruang gerak intelektual pada A’isyah misalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dari sahabat. Beliau mengunjungi isteri-isterinya dengan kuantitas yang sama. Bahkan ketika Nabi sakit, beliau selalu bertanya giliran kunjungan isteri yang mana. Beliau juga selalu mendengarkan keluh kesah dan pengaduan dari mereka. Melalui pernikahan mereka dengan Nabi, posisi sosial mereka menjadi tinggi dan meningkat.
              Fakta di atas setidaknya bisa dicontoh oleh masyarakat muslim yang gencar mendakwahkan poligami, karena mmendasarkan alasan pada diri Nabi. Dari semua isteri Nabi hanya A’isyah yang masih gadis, dan sebagian isteri Nabi sudah tidak berumur muda lagi, misalnya sudah berusia 30 tahun, Zainab binti Jahsyi berusi 39 tahun, dan Ummu Salamah berusia 29 tahun.
Poligami Kini
              Pernikahan memang sebuah perintah yang dianjurkan oleh Nabi. Dalam banyak hadis Nabi mendorong umatnya untuk menikah dan meninggalkan membujang, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh A’isyah:
وَعن عا ئشة عند ابن ما جة أنّ النّبيّ صلىّ الله عليه وسلّم قال النّكاح من سنّتى فمن لم يعمل بسنّتى فليس منّى و تزوّجوا فإ نّى مكا ثربكم الأمم ومن كان ذا طولٍ فلينكح ومن لم يجد فعليه باالصّوم فإنّ الصّوم له .  
              Artinya: Dari A’isyah dari Ibnu Majah bahwa Nabi bersabda: nikah itu merupakan sunnahku, barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan dari golonganku, maka menikahlah kalian.
              Pernikahan merupakan ikatan yang suci dan agung, sebagai bentuk penghormatan kepada manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Karena ikatan pernikahan tidak terjadi pada makhluk lain seperti binatang. Pernikahan ini dimaksudkan untuk membangun sebuah rumah tangga yang harmonis antara anggoota di dalamnya. Keharmonisan akan tercapai bila suami dan isteri memberi makna di dalamnya dengan kepercayaan, kesetiaan, pengorbanan, saling menyayangi serta memegang janji ikatan tersebut. Oleh karena itu Islam menggariskan pernikahan melalui tata cara dan prinsip yang ditetapkan.
              Diantara prinsip itu adalah perempuan diberi hak untuk menentukan jodohnya sendiri. Padahal di beberapa daerah banyak orang tua yang masih memaksa anaknya untuk menikah dengan pilihan orang tua. Dengan memberikan kebebasan memilih jodoh diharapkan calon isteri tahu bersama siapa seharusnya ia menjalani kehidupan rumah tangga. Prinsip ini merupakan prinsip baru yang digariskan oileh Nabi setelah sebelumnya pernikahan adalah milik ayah atau wali laki-laki pada masyarakat Arab.
              Kalau kita mau belajar dari beberapa Negara muslim tentang pelanggaran perilaku poligami, maka penafsiran yang kontekstual dan humanis justru yang paling dibutuhkan sekarang ini. Tunisia misalnya, menetapkan bahwa beristeri lebih dari satu dilarang dan bagi siapa yang melakukan perkawinan yang kedua sebelum peerkawinan yang pertama berakhir akan dikenakan hukuman penjara 1 tahun dan denda 240.000 malim. Begitupun Pakistan, dalam hukum keluarga paskistan pada tahun 1961, menegaskan selama masih terikat perkawinan, tidak seorang laki-lakipun boleh melangsungkan pernikahan dengan orang lain kecuali ada izin tertulis dari dewan arbitrase. Kalau ia melangsungkan perkawinan tanpa izin maka ia didenda maksimal 5000 rupe. Sementara dengan syiria, Negara ini membatasi periaku polilgami jika tidak mampu dalam bidang poligami. Bahkan ahli hukum Syiria melangkah lebih jauh lagi dengan melarang sama sekali poligami.
              Berbeda halnya dengan Indonesia, meski UU no. 1 th. 74 pasal 3 ayat 1 pemerintah menegaskan system monogami, tetapi pada ayat 2 justru kontradiksi, dimana pengadilan memberi izin bagi suami untuk poligami. Pasal 3 UU no. 1/74 menegaskan poligami dapat dilakukan dengan syarat izin pengadilan. Dari ayat ini menegaskan bahwa poligami menjadi batal kalau pengadilan tidak member izin. Sementara dalam komplikasi hukum Islam pasal 55 ayat 2 menegaskan bahwa syarat utama poligami adalah suami harus adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. Kalau adil juga berarti adil dalam cinta sebagaimana disinyalir oleh Wahbah Zuhaili dan Rasyid Ridha, maka adil menjadi bias.
              Kalau ternyata suami berpoligami tanpa izin pengadilan dan isteri maka isteri dapat melakukan pembatalan perkawinan sebagaimana terdapat dalam UU no.1 pasal 22 1974. Selain pembatalan perkawinan isteri juga bisa melakukan tuntutan pidana berdasarkan pasal 279 KUHP ayat 1.

BAB V
PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim. Hal ini tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Bagaimana sebenarnya dalam perspektif Islam yang benar mengenai status perbedaan agama?      

1)Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
Tentang status pernikahan wanita muslimah dan pria non muslim disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al Mumtahanah: 10)
Pendalilan dari ayat ini dapat kita lihat pada dua bagian:
1) Bagian pertama pada ayat,
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
     Janganlah kamu kembalikan mereka (wanita mukmin) kepada suami mereka yang kafir
2) Bagian kedua pada ayat,
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
     Mereka (wanita mukmin) tiada halal bagi orang-orang kafir itu
Dari dua sisi ini, sangat jelas bahwa tidak boleh wanita muslim menikah dengan pria non muslim (agama apa pun itu).
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”


Penjelasan Ulama Islam Tentang Pernikahan Wanita Muslimah dengan Pria Non Muslim
·         Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت العلماء على أنّ المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.”
·         Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan,
وكما أنّ المسلمة لا تحلّ للكافر، فكذلك الكافرة لا تحلّ للمسلم أن يمسكها ما دامت على كفرها، غير أهل الكتاب
“Sebagaimana wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir, begitu pula wanita kafir tidak halal bagi laki-laki muslim untuk menahannya dalam kekafirannya, kecuali diizinkan wanita ahli kitab (dinikahkan dengan pria muslim).”
            Oleh karena itu, jika ada wanita muslimah menikah dengan pria non muslim, maka nikahnya batil (tidak sah) dan dianggap berzina.
            Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas istrinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Sehingga suami dapat memberi pengaruh kepada istri.

2)Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
            Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan bagimu menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5).
            Yang dimaksud di sini, seorang pria muslim diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab, namun bukan wajib dan bukan sunnah, hanya diperbolehkan saja. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah.
            Terdapat beberapa pendapat bahwa ahli kitab di sini bukanlah  penganut injil ataupun taurat yang ada pada saat ini. Ahli kitab yang dimaksud disini ialah mereka yang bersyahadat Mengakui adanya ALLAH  akan tetapi tidak mengakui adanya Nabi Muhammad SAW. Dan sebagian ulama menafsirkan bahwa Ahli Kitab di sini adalah penganut Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi(langit), maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini.
            Dan yang dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Maka, selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) yang disebut musyrik, haram untuk dinikahi. Karena mereka termasuk agama ardhi (bumi) ). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka.
            Menurut para ulama, laki-laki muslim sama sekali tidak boleh menikahi wanita yang murtad meskipun ia masuk agama Nashrani atau Yahudi kecuali jika wanita tersebut mau masuk kembali pada Islam.


BAB IV
HIKMAH PERNIKAHAN
            Pernikahan dalm Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya; hidup menikah dan tinggal bersama orang-orang yang dicintai. Berikut ini beberapa hikmah pernikahan dalam agama Islam :
1)      Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia,
 Lihatlah bagaimana kehidupan manusia-manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tak bisa mereka kandangkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang, apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2)      Menikah memuliakan kaum wanita,
 Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga.
3)      Menikah adalah cara melanjutkan keturunan;
4)      Wujud kecintaan Allah pada mahluk-Nya untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik;
 Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahluk-Nya, dengan memberikan cara bagi mahluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi sorang mahluk. Dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan melalui adanya pernikahan. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
5)      Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat,
6)      Terwujudnya kehidupan yg tenang dan tentram, cinta dan kasih sayang diantara sesama,
7)       Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab, baik dalam hubungan suami istri maupun orang tua dan anak,
8)       Memperkokoh tali persaudaraan.
KESIMPULAN

1.      menurut istilah,  Pernikahan adalah suatu perjanjian atau aqad antara seorang pria dengan wanita untuk menghalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at islam.
2.      Khitbah atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik dan Hukum meminang adalah mubah dengan ketentuan-ketentuan yang dijelaskan menurut syari’at islam.
3.      Dalam syari’at islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, diantaranya yaitu Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melakukan pernikahan atau tidak.
4.      Poligami beasal dari bahasa Yunani dan merupakan penggalan dari kata poliu atau polus yang berarti banyak dan gemen atau gemes yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami dapat dikatakan perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah tak terbatas.
5.      Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221.
6.      Diperbolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 5.
7.      Diantara hikmah dari pernikahan yaitu, akan meninggikan harkat dan martabat manusia, dapat memuliakan kaum wanita, Wujud kecintaan Allah kepada makhluk-Nya untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik, Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat, Terwujudnya kehidupan yg tenang dan tentram, cinta dan kasih sayang diantara sesama, Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab dan memperkokoh tali persaudaraan.


DAFTAR PUSTAKA

v  WWW. ARTIKEL HUKUM PERDATA. COM
v  WWW. PERNIKAHAN BEDA AGAMA.COM
v  Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar al-kitab al-Islamiyah, tt)
v  Dr. Sri mulyani, Editor, Relasi Suami Isteri dalam Islam Pusat Study Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004
v  H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 1996 Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar