Kamis, 25 Juli 2013

Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an

Bagaimana Cara Kita Bersahabat Dengan  al-Qur'an al-'Adzim

Al-Qur’an sebagai cahaya yang menerangi, berasal dari Allah yang diberikan kepada hambanya. Telah banyak ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Al-qur’an, salah satunya sebagai penerang. Sebagai cahaya yang menerangi, al-Qur’an memiliki karakteristik, yakni sebagai penerang bagi dirinya dan juga orang lain. Al-qur’an juga sebagai pembuka kesulitan, penjelas kebenaran, penangkal syubhat dan penambah hidayah. Al-qur’an sendiri memiliki karakteristik yang lebih dari kitab-kitab lainnya diantaranya, merupakan kitab yang berasal dari tuhan, kitab yang memiliki banyak keunggulan, sebagai penjelas dan mudah dipahami, kitab yang terjaga, kitab agama secara universal dan untuk seluruh zaman.

Dari keutamaan-keutamaan Al-qur’an itulah yang mendorong Yusuf Qardhawi untuk menulis buku ini, “Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-‘Adzim”, termasuk juga permintaan dari berbagai sahabatnya. Yusuf Qardhawi mengucap syukur kepada Allah, berkat Fadhilah serta Rahmat-Nya buku ini dapat memberikan pengaruh terhadap banyak orang, untuk menghilangkan syubhat dan memperbaiki banyak pemahaman yang salah, serta melahirkan banyak petunjuk dan ketepatan sebagai pencegah guna membantu kebenaran pemahman.

Lantas apa hal yang mendorong Qardhawi untuk menulis buku ini ? “sebelumnya Syeikh Muhammad Ghazali rahimahullah juga telah menerbitkan buku dengan judul sama yakni “Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-‘Adzim”, merupakan sebuah buku yang mengemukakan penjelasan mengenai pertanyaan panjang Prof. Umar Ubaid Hasanah ketika beliau sedang berada di Doha, kemudian Syeikh Ghozali menjawabnya secara terperinci,”. Qardhawi mengemukakan bahwa dalam bukunya Ghazali hanya menetapkan hukum-hukum tertentu yang ditanyakan kepadanya saja dan jawaban tersebut hanya terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, belum memperhatikan metode khusus dalam penyusunan bukunya. Sehingga apa yang ada dalam substansi buku tersebut belum mencakup arti dari cara bersahabat dengan kitab Allah.

Mengingat kebutuhan terhadap metode buku ini sudah tetap, maka Qardhawi membaginya dalam empat bab utama. Bab pertama menjelaskan tentang karakteristik al-Qur’an serta tujuan-tujuannya, bab kedua tentang cara bersahabat dengan al-Qur’an dengan menghafal, membaca dan mendengar, bab ketiga mengenai cara bersahabat dengan al-Qur’an dengan pemahaman dan penafsiran, serta penjelasan mengenai metode utama dalam penafsiran, mengetahui kesalahan dan kehati-hatian, kedudukan tafsir ilmiah antara pihak yang setuju dan menolak, ini merupakan bab terpenting dalam buku ini, dan bab keempat penjelasan mengenai cara bersahabat dengan al-Qur’an secara ittiba’, pengamalan, hukum, dan seruan.

Dalam bab pertama, Qardhawi memulai penjelasannya mengenai karakteristik al-Qur’an, ia menyebutkan bahwa terdapat tujuh karakteristik yang dimiliki oleh al-Qur’an, pertama al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui jalan Wahyu, al-Qur’an juga sebagai ruh yang berasal dari Allah, sehingga dapat menghidupkan akal dan hati. Sebagaimana halnya undang-undang tuhan yang mengatur kehidupan setiap manusia dan bangsa. Kedua al-Qur’an merupakan kitab yang terjaga, Qardhawi menjelaskan bahwa Allah telah mengatur sebab-sebab terjaganya al-Qur’an, seperti diturunkannya al-Qur’an di tempat ummat yang memiliki kelebihan dalam menghafal, Rasulullah sendiri telah memilih penulis wahyu, kemudian memerintahkan untuk menuliskannya disaat setelah diturunkannya wahyu tersebut, dikumpulkannya al-Qur’an pada saat Khilafah Abu Bakar, dan dituliskannya mushaf Imam pada saat khilafah Utsman bin Affan. Ketiga al-Qur’an kitab yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya dari segi tatanan kalimat dan uslub yang disebut i’jaz bayani, kemudian dari segi hukum-hukum syar’i serta perbaikan-perbaikan yang didatangkan oleh al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam bukunya “al-Wahyu al-Muhammadiyyu”. Keempat al-Qur’an sebagai kitab penjelas dan mudah dipahami, tidak seperti kitab filsafat yang cenderug kepada teka-teki serta rahasis-rahasia yang tidak jelas, karena Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang menyeru manusia kepada kalimat-kalimat Allah. Kelima al-Qur’an merupakan  kitab agama secara menyeluruh, terkandung di dalamnya ajaran mengenai akidah islam secara jelas, syari’at, akhlak Rabbani dan Insani, serta falsafah akhlak yang berbicara mengenai keutamaan akhlak, tujuan akhlak dalam islam dan karakteristiknya. Keenam al-Qur’an sebagai kitab bagi seluruh zaman, dalam artian kitab yang kekal dan tidak berhenti pada zaman tertentu. Karena hukum-hukum al-Qur’an, perintahnya, serta larangannya tidak terikat oleh waktu tertentu, yang kemudian berhenti untuk mengamalkannya. Terakhir al-Qur’an merupakan kitab bagi seluruh umat manusia, karana itu Allah menjadikannya petunjuk bagi seluruh manusia, tidak hanya sebatas kepada satu bangsa, ras, atau golongan tertentu. Tetapi kitab yang menyeluruh, undang-undang yang menyeluruh berasal dari tuhan yang menyeluruh.

Selanjutnya Qardhawi menjelaskan mengenai tujuan-tujan al-Qur’an, dalam buku ini terdapat tujuh tujuan al-Qur’an, pertama yaitu pembenaran akidah dan pandangan, mencakup didalamnya tiga unsur, yakni peneguhan serta penguatan tauhid, pembenaran akidah terhadap kenabian dan kerasulan, serta penetapan kepercayaan terhadap hari akhir dan ganjaran akhirat. Kedua, penetapan hak-hak serta martabat manusia, mencakup didalamnya tiga unsur, yakni penetapan martabat manusia, penetapan hak-hak manusia, dan penekanan terhadap hak-hak orang lemah. Ketiga, perintah untuk menyembah Allah serta takwa kepada Nya. Qardhawi menjelaskan bahwa ridak ada kitab suci selain al-Qur’an yang didalamnya terdapat seruan untuk memuji tuhannya, mengingat keluasan ilmuNya, mengagungkan dzatNya, cakupan kehendakNya,  ciptaanNya, mendapatkan keluasan rahmatNya, bersemangat dalam peribatanNya, tenanga dalam mengingatNya, sabar terhadap cobaanNya, dan ridha terhadap taqdirNya. Keempat perintah untuk mensucikan diri, Qardhawi menjelaskan bahwa manusia dengan fitrahnya, siap untuk tenggelam dalam kemaksiatan yang mengotori dan menyesatkannya. Sama halnya dengan kesiapannya untuk bertakwa sehingga dapat membersihkan serta mensucikannya. Kelima yaitu membangun keluarga yang baik dan persamaan hak terhadap wanita. Keenam pembentukan umat yang jujur terhadap sesama manusia, dan terakhir yaitu seruan kepada seluruh manusia untuk saling tolong menolong. Dijelaskan bahwa umat islam memiliki kewajiban untuk membawa misi agama kepada seluruh umat, maka tidak dibenarkan bagi manusia untuk menahan kebaikan serta cahaya pada dirinya saja, tetapi setelah mendapatkan petunjuk melalui cahaya Allah, maka ia juga harus menyampaikan petunjuk itu kepada orang lain.

Kemudian dalam bab kedua Qardhawi menjelaskan dengan sangat terperinci, mengenai cara bersahabat dengan al-Qur’an dengan cara menghafal, membaca, dan mendengarkan. Dalam bukunya, Qardhawi menjelaslan banyak keutaman bagi para penghafal al-Qur’an, diantaranya pada hari kiamat Allah akan memakaikannya mahkota dari cahaya dan sinarnya laksana sinar matahari. Kemudian bagi para penghafal al-Qur’an harus menjaga kesopanan dalam berprilaku, seperti halnya berprilaku seperti akhlak al-Qur’an serta mempersiapkan hati yang ikhlas dalam mempelajarinya. Dalam hal membaca al-Qur’an Qardhawi menjelaskan tata cara dalam membacanya, diantara jenis bacaan al-Qur’an yaitu dengan tartil, sedangkan jenis bacaan talhin dan tarji’ banyak perdebatan dalam tata cara membacanya, dalam bukunya Qardhawi menyampaikan perdebatan imam Qurthubi tentang masalah ini. Dari tata cara membaca al-Qur’an selanjutnya yakni dengan mentadaburi makna ayatnya. Bagi orang yang selalu merenungi makna al-Qur’an maka ia akan menemukan kemuliaan dalam susunan kalimat-kalimatnya, permata dalam hukumnya, banyak pengetahuan yang terpendam di dalamnya, hakikat wujud, rahasia kehidupan dan  penjelasan mengenai ayat-ayat. Oleh sebab itu banyak orang mengatakan bahwa, al-Qur’an mencakup ilmu mengenai orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Qardhawi juga menambahkan bahwa dari salah satu adab membaca al-qur’an yaitu berusaha untuk khusyuk dan sedih ketika membacanya.

Qardhawi menyebutkan bahwa Imam Ghazali dalam bukunya al-Ihya menerangkan hal-hal yang harus dilakukan sebelum mentadaburi al-Qur’an, yaitu memahami asal kalimat, kemudian mengagungkannya, memunculkan kehadiran hati, kemudian baru mentadaburinya. Dari hal-hal yang harus dilakukan ketika sedang mentadaburi al-Qur’an adalah bertanya jawab antara pembaca dengan al-Qur’an yang dibacanya, kemdian memusatkan hatinya dengan berpikir tentang arti dari ayat yang dibacanya, sehingga mengetahui makna dari setiap ayat, kemudian merenungi segala perintah dan larangannya.

Qardhawi juga menjelaskan di dalam bukunya, Apabila al-Qur’an memiliki nilai ibadah dengan  membacanya, maka ia juga memiliki nilai ibadah dengan mendengarkannya. Diriwayatkan oleh hadis dan Qardhawi membenarkannya bahwa Rasulullah sendiri pernah mendengarkan bacaan Abu Musa al-Asy’ari dengan suaranya yang bagus. Sebagaimana dijelaskan bahawa terdapat adab dalam membaca al-Qur’an, maka dalam mendengarkannya juga terdapat adab yang harus senantiasa dijaga, yaitu diam dan mendengarkannya dengan seksama, sebagaimana adab dalam membaca yaitu tadabbur dan tajawub, ini juga berlaku ketika mendengarkannya.

Dalam bab ini Qardhawi menjelaskan tata cara bersahabat dengan al-Qur’an yaitu dengan cara pemahaman dan penafsiran. Dalam bab ini dijelaskan tentang pentingnya tafsir dalam al-Qur’an, urgensinya, serta jenis-jenis penafsiran itu sendiri. Mengenai jenis penafsiran Qardhawi menerangkan terdapat dua jenis penafsiran dalam al-Qur’an, pertama yaitu tafsir dengan periwayatan yang diambil dari Rasulullah sendiri, atau dari para sahabat, para muridnya yaitu tabi’in, bahkan bisa juga diambil dari pengikut tabi’in. kedua yaitu tafsir dengan akal, yang dimaksud dari tafsir dengan akal disini yakni, usaha memaksimalkan akal dan pandangan dalam memahami al-Qur’an melalui pengetahuan mengenai lisan arab, dengan menyertai kemampuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir dari segi syarat yang harus dipenuhi bagi seorang mufassir, pengetahuan, dan akhlah mufassir itu sendiri.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Qardhawi menjelaskan delapan metode utama Dalam menafsirkan al-Qur’an dengan ketepatan yang akurat. Yang pertama, mensinergikan antara metode riwayat dengan diroyat, kemudian tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan hadis sahih, pemanfaatan penafsiran para sahabat dan tabi’in, pengambilan bahasa secara utuh, memperhatikan konteks ayat, memperhatikan asbab nuzul ayat, dan percaya terhadap al-Qur’an sebagai sumber yang harus diikuti dan selalu dijadikan rujukan.

Qardhawi juga menjelaskan delapan kesalahan yang harus kita waspadai dalam memahami al-Qur’an, pertama yaitu, lebih cendrung mengikuti ayat-ayat mutasyabihat daripada ayat-ayat muhkamat, kemudian kesalahan dalam menta’wil ayat, menempatkan nash Qur’an tidak sesuai dengan konteks kalimatnya, tuduhan naskh terhadap ayat tanpa bukti, ketidaktahuan terhadap sunnah bahkan sengaja menentangnya, percaya terhadap karangan israiliyyat yang dituliskan pada salah satu buku tafsir yang membawa kepada ketakahyulan serta kebatilan, menelantarkan apa-apa yang telah dibawa oleh ulama terdahulu serta menentang dengan sengaja buku-buku turats mereka, yang terakhir yaitu kelemahan serta keterbatasan dalam ilmu pengetahuan.

Dalam buku ini Qardhawi menjelaskan bahawa pada era kontemporer ini telah banyak berkembang metode ilmiah baru dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu penafsiran mengenai ilu-ilmu alam, seperti ilmu falak, geologi, kimia, biologi, kedokteran, psikologi, matematika dan sejenisnya. Qardhawi menambaahkan bahwa pada abad ke 20 ini terdapat banyak pertentangan antara ulama ilmu alam dengan ulama syariat mengenai metode baru ini. Qardhawi juga mengemukakan beberapa pemikir islam serta muhaddits yang menyetujui serta menentang metode ini, meskipun kebanyakan ulama yang menentang daripada mendukung.
Qardhawi menyebutkan, diantara para ulama yang menentang metode ini adalah Syeikh Syaltut, Syeikh Amin al-khouli, dan Sayyid Qutub.

Imam Ghazali dalam bukunya “Jawahiru al-Qur’an” menjelaskan bahwa ilmu-ilmu terdahulu dan yang berkembang pada nantinya tidaklah keluar dari ajaran al-Qur’an, ghazali mengatakan “Semua ilmu pada dasarnya bertujuan untuk menambah pemahaman terhadap al-Qur’an, sebagaimana al-Qur’an sendiri menyeru kepada hal tersebut, dengan gambaran yang terkandung di dalamnya secara umum,”.

Kemudian Qardhawi menjelaskan kedudukan yang harus kita ambil dalam menyikapi pertentangan ini, bahwa terdapat tiga pandangan mengenai permasalahan ini, disatu sisi bahwa pihak yang menolak disertakannya ilmu alam serta pemikiran dalam penafsiran al-Qur’an, mereka beranggapan bahwa akan terjadi perubahan dengan perbedaan yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, di lain sisi pihak yang berambisi untuk memakai ilmu-ilmu tersebut bertujuan untuk menunjukkan, bahwa al-Qur’an mencakup ilmu-ilmu tersebut, dan mereka berupaya untuk mengangkat istilah “I’jaz al-‘Ilmi” dengan banyaknya keunggulan yang terdapat didalam al-Qur’an.

Qrdhawi mengatakan bahwa Dari dua sisi tersebut kita bisa mengambil kedudukan dalam menyikapinya, yaitu bersikap adil atau berada di tengah-tengah kedua belah pihak, dengan tidak menolaknya serta tidak berlebihan dalam menetapkannya.

Secara singkat Qardhawi menjelaskan tiga pandangannya mengenai permasalahan ini, yang pertama yaitu pentingnya pengetahuan terhadap ilmu-ilmu tersebut. Kedua, kewaspadaan mereka yang secara khusus memperdalam ilmu ini, dan ketiga mengindahkan syarat yang harus dipenuhi ketika memakai ilmu alam dalam penafsiran al-Qur’an.

Sebagai pengantar studi ilmu al-Qur’an, buku ini sangat penting untuk dijadikan pegangan, serta rujukan utama. Wawasan keilmuan Yusuf Qardhawi mengenai ilmu al-Qur’an yag tidak diragukan lagi bisa menjadi mutu terhadap nilai keakuratan dan keilmiahan buku ini. Untuk menunjukkan nilai keilmiahan itu, yusuf Qardhawi selalu menukil pendapat ulama-ulama salaf maupun kontemporer dalam bukunya, seperti Imam Ghazali, Imam Juwaini, Imam Laits, Imam Qurthubi, Imam Nawawi, Ibnu Katsir, Syeikh Syaltut, Sayyid Qutub, al-Mawardi, Rasyid Ridha, Abdullah Darros, dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf maupun kontemporer lainnya yang dijadikan rujukan untuk memperkuat keakuratan bukunya. Semoga dengan metode utama dalam mempelajari ilmu al-Qur’an yang dijelaskan secara terperinci  oleh Yusuf Qardhawi bisa membuka wawasan keilmuan kita dalam mempelajari ilmu al-Qur’an secara mendalam. Wallahu a’la wa a’lam.

Buku                               : Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-‘Adzim.
Penulis                           : Dr. Yusuf Qardhawi.
Penerbit                         : Darussyuruq, Kairo, Mesir.
Tahun Penerbitan        : Cetakan kedelapan 2011.
Jumlah halaman           : 460 halaman.           

0 komentar:

Posting Komentar