Bagaimana Cara Kita Bersahabat Dengan al-Qur'an al-'Adzim
Al-Qur’an
sebagai cahaya yang menerangi, berasal dari Allah yang diberikan kepada
hambanya. Telah banyak ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Al-qur’an,
salah satunya sebagai penerang. Sebagai cahaya yang menerangi, al-Qur’an
memiliki karakteristik, yakni sebagai penerang bagi dirinya dan juga orang
lain. Al-qur’an juga sebagai pembuka kesulitan, penjelas kebenaran, penangkal syubhat
dan penambah hidayah. Al-qur’an sendiri memiliki karakteristik yang lebih
dari kitab-kitab lainnya diantaranya, merupakan kitab yang berasal dari tuhan, kitab
yang memiliki banyak keunggulan, sebagai penjelas dan mudah dipahami, kitab yang
terjaga, kitab agama secara universal dan untuk seluruh zaman.
Dari
keutamaan-keutamaan Al-qur’an itulah yang mendorong Yusuf Qardhawi untuk
menulis buku ini, “Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-‘Adzim”, termasuk
juga permintaan dari berbagai sahabatnya. Yusuf Qardhawi mengucap syukur kepada
Allah, berkat Fadhilah serta Rahmat-Nya buku ini dapat memberikan
pengaruh terhadap banyak orang, untuk menghilangkan syubhat dan memperbaiki banyak
pemahaman yang salah, serta melahirkan banyak petunjuk dan ketepatan sebagai
pencegah guna membantu kebenaran pemahman.
Lantas apa hal
yang mendorong Qardhawi untuk menulis buku ini ? “sebelumnya Syeikh Muhammad
Ghazali rahimahullah juga telah menerbitkan buku dengan judul sama yakni
“Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an al-‘Adzim”, merupakan sebuah buku yang
mengemukakan penjelasan mengenai pertanyaan panjang Prof. Umar Ubaid Hasanah
ketika beliau sedang berada di Doha, kemudian Syeikh Ghozali menjawabnya secara
terperinci,”. Qardhawi mengemukakan bahwa dalam bukunya Ghazali hanya
menetapkan hukum-hukum tertentu yang ditanyakan kepadanya saja dan jawaban
tersebut hanya terkait dengan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, belum
memperhatikan metode khusus dalam penyusunan bukunya. Sehingga apa yang ada
dalam substansi buku tersebut belum mencakup arti dari cara bersahabat dengan
kitab Allah.
Mengingat
kebutuhan terhadap metode buku ini sudah tetap, maka Qardhawi membaginya dalam
empat bab utama. Bab pertama menjelaskan tentang karakteristik al-Qur’an serta
tujuan-tujuannya, bab kedua tentang cara bersahabat dengan al-Qur’an dengan
menghafal, membaca dan mendengar, bab ketiga mengenai cara bersahabat dengan
al-Qur’an dengan pemahaman dan penafsiran, serta penjelasan mengenai metode
utama dalam penafsiran, mengetahui kesalahan dan kehati-hatian, kedudukan
tafsir ilmiah antara pihak yang setuju dan menolak, ini merupakan bab
terpenting dalam buku ini, dan bab keempat penjelasan mengenai cara bersahabat
dengan al-Qur’an secara ittiba’, pengamalan, hukum, dan seruan.
Dalam bab
pertama, Qardhawi memulai penjelasannya mengenai karakteristik al-Qur’an, ia
menyebutkan bahwa terdapat tujuh karakteristik yang dimiliki oleh al-Qur’an, pertama
al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
jalan Wahyu, al-Qur’an juga sebagai ruh yang berasal dari Allah, sehingga dapat
menghidupkan akal dan hati. Sebagaimana halnya undang-undang tuhan yang
mengatur kehidupan setiap manusia dan bangsa. Kedua al-Qur’an merupakan kitab
yang terjaga, Qardhawi menjelaskan bahwa Allah telah mengatur sebab-sebab
terjaganya al-Qur’an, seperti diturunkannya al-Qur’an di tempat ummat yang
memiliki kelebihan dalam menghafal, Rasulullah sendiri telah memilih penulis
wahyu, kemudian memerintahkan untuk menuliskannya disaat setelah diturunkannya
wahyu tersebut, dikumpulkannya al-Qur’an pada saat Khilafah Abu Bakar,
dan dituliskannya mushaf Imam pada saat khilafah Utsman bin Affan. Ketiga
al-Qur’an kitab yang memiliki banyak kelebihan, diantaranya dari segi tatanan
kalimat dan uslub yang disebut i’jaz bayani, kemudian dari segi
hukum-hukum syar’i serta perbaikan-perbaikan yang didatangkan oleh
al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh Rasyid Ridha dalam bukunya “al-Wahyu
al-Muhammadiyyu”. Keempat al-Qur’an sebagai kitab penjelas dan mudah
dipahami, tidak seperti kitab filsafat yang cenderug kepada teka-teki serta
rahasis-rahasia yang tidak jelas, karena Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk
yang menyeru manusia kepada kalimat-kalimat Allah. Kelima al-Qur’an merupakan kitab agama secara menyeluruh, terkandung di
dalamnya ajaran mengenai akidah islam secara jelas, syari’at, akhlak Rabbani
dan Insani, serta falsafah akhlak yang berbicara mengenai keutamaan
akhlak, tujuan akhlak dalam islam dan karakteristiknya. Keenam al-Qur’an
sebagai kitab bagi seluruh zaman, dalam artian kitab yang kekal dan tidak
berhenti pada zaman tertentu. Karena hukum-hukum al-Qur’an, perintahnya, serta
larangannya tidak terikat oleh waktu tertentu, yang kemudian berhenti untuk
mengamalkannya. Terakhir al-Qur’an merupakan kitab bagi seluruh umat manusia,
karana itu Allah menjadikannya petunjuk bagi seluruh manusia, tidak hanya
sebatas kepada satu bangsa, ras, atau golongan tertentu. Tetapi kitab yang
menyeluruh, undang-undang yang menyeluruh berasal dari tuhan yang menyeluruh.
Selanjutnya
Qardhawi menjelaskan mengenai tujuan-tujan al-Qur’an, dalam buku ini terdapat
tujuh tujuan al-Qur’an, pertama yaitu pembenaran akidah dan pandangan, mencakup
didalamnya tiga unsur, yakni peneguhan serta penguatan tauhid, pembenaran
akidah terhadap kenabian dan kerasulan, serta penetapan kepercayaan terhadap
hari akhir dan ganjaran akhirat. Kedua, penetapan hak-hak serta martabat manusia,
mencakup didalamnya tiga unsur, yakni penetapan martabat manusia, penetapan
hak-hak manusia, dan penekanan terhadap hak-hak orang lemah. Ketiga, perintah
untuk menyembah Allah serta takwa kepada Nya. Qardhawi menjelaskan bahwa ridak
ada kitab suci selain al-Qur’an yang didalamnya terdapat seruan untuk memuji
tuhannya, mengingat keluasan ilmuNya, mengagungkan dzatNya, cakupan
kehendakNya, ciptaanNya, mendapatkan
keluasan rahmatNya, bersemangat dalam peribatanNya, tenanga dalam mengingatNya,
sabar terhadap cobaanNya, dan ridha terhadap taqdirNya. Keempat perintah untuk
mensucikan diri, Qardhawi menjelaskan bahwa manusia dengan fitrahnya, siap
untuk tenggelam dalam kemaksiatan yang mengotori dan menyesatkannya. Sama
halnya dengan kesiapannya untuk bertakwa sehingga dapat membersihkan serta
mensucikannya. Kelima yaitu membangun keluarga yang baik dan persamaan hak
terhadap wanita. Keenam pembentukan umat yang jujur terhadap sesama manusia,
dan terakhir yaitu seruan kepada seluruh manusia untuk saling tolong menolong.
Dijelaskan bahwa umat islam memiliki kewajiban untuk membawa misi agama kepada
seluruh umat, maka tidak dibenarkan bagi manusia untuk menahan kebaikan serta
cahaya pada dirinya saja, tetapi setelah mendapatkan petunjuk melalui cahaya
Allah, maka ia juga harus menyampaikan petunjuk itu kepada orang lain.
Kemudian dalam
bab kedua Qardhawi menjelaskan dengan sangat terperinci, mengenai cara
bersahabat dengan al-Qur’an dengan cara menghafal, membaca, dan mendengarkan.
Dalam bukunya, Qardhawi menjelaslan banyak keutaman bagi para penghafal
al-Qur’an, diantaranya pada hari kiamat Allah akan memakaikannya mahkota dari
cahaya dan sinarnya laksana sinar matahari. Kemudian bagi para penghafal
al-Qur’an harus menjaga kesopanan dalam berprilaku, seperti halnya berprilaku
seperti akhlak al-Qur’an serta mempersiapkan hati yang ikhlas dalam mempelajarinya.
Dalam hal membaca al-Qur’an Qardhawi menjelaskan tata cara dalam membacanya,
diantara jenis bacaan al-Qur’an yaitu dengan tartil, sedangkan jenis bacaan
talhin dan tarji’ banyak perdebatan dalam tata cara membacanya, dalam bukunya
Qardhawi menyampaikan perdebatan imam Qurthubi tentang masalah ini. Dari tata
cara membaca al-Qur’an selanjutnya yakni dengan mentadaburi makna ayatnya. Bagi
orang yang selalu merenungi makna al-Qur’an maka ia akan menemukan kemuliaan
dalam susunan kalimat-kalimatnya, permata dalam hukumnya, banyak pengetahuan
yang terpendam di dalamnya, hakikat wujud, rahasia kehidupan dan penjelasan mengenai ayat-ayat. Oleh sebab itu
banyak orang mengatakan bahwa, al-Qur’an mencakup ilmu mengenai orang-orang
terdahulu dan yang akan datang. Qardhawi juga menambahkan bahwa dari salah satu
adab membaca al-qur’an yaitu berusaha untuk khusyuk dan sedih ketika
membacanya.
Qardhawi
menyebutkan bahwa Imam Ghazali dalam bukunya al-Ihya menerangkan hal-hal
yang harus dilakukan sebelum mentadaburi al-Qur’an, yaitu memahami asal
kalimat, kemudian mengagungkannya, memunculkan kehadiran hati, kemudian baru
mentadaburinya. Dari hal-hal yang harus dilakukan ketika sedang mentadaburi
al-Qur’an adalah bertanya jawab antara pembaca dengan al-Qur’an yang dibacanya,
kemdian memusatkan hatinya dengan berpikir tentang arti dari ayat yang
dibacanya, sehingga mengetahui makna dari setiap ayat, kemudian merenungi
segala perintah dan larangannya.
Qardhawi juga
menjelaskan di dalam bukunya, Apabila al-Qur’an memiliki nilai ibadah
dengan membacanya, maka ia juga memiliki
nilai ibadah dengan mendengarkannya. Diriwayatkan oleh hadis dan Qardhawi
membenarkannya bahwa Rasulullah sendiri pernah mendengarkan bacaan Abu Musa
al-Asy’ari dengan suaranya yang bagus. Sebagaimana dijelaskan bahawa terdapat
adab dalam membaca al-Qur’an, maka dalam mendengarkannya juga terdapat adab
yang harus senantiasa dijaga, yaitu diam dan mendengarkannya dengan seksama,
sebagaimana adab dalam membaca yaitu tadabbur dan tajawub, ini
juga berlaku ketika mendengarkannya.
Dalam bab ini Qardhawi
menjelaskan tata cara bersahabat dengan al-Qur’an yaitu dengan cara pemahaman
dan penafsiran. Dalam bab ini dijelaskan tentang pentingnya tafsir dalam
al-Qur’an, urgensinya, serta jenis-jenis penafsiran itu sendiri. Mengenai jenis
penafsiran Qardhawi menerangkan terdapat dua jenis penafsiran dalam al-Qur’an, pertama
yaitu tafsir dengan periwayatan yang diambil dari Rasulullah sendiri, atau dari
para sahabat, para muridnya yaitu tabi’in, bahkan bisa juga diambil dari
pengikut tabi’in. kedua yaitu tafsir dengan akal, yang dimaksud dari
tafsir dengan akal disini yakni, usaha memaksimalkan akal dan pandangan dalam
memahami al-Qur’an melalui pengetahuan mengenai lisan arab, dengan menyertai
kemampuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir dari segi syarat yang harus
dipenuhi bagi seorang mufassir, pengetahuan, dan akhlah mufassir itu sendiri.
Dalam menafsirkan
al-Qur’an, Qardhawi menjelaskan delapan metode utama Dalam menafsirkan
al-Qur’an dengan ketepatan yang akurat. Yang pertama, mensinergikan antara
metode riwayat dengan diroyat, kemudian tafsir al-Qur’an dengan
al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan hadis sahih, pemanfaatan penafsiran para
sahabat dan tabi’in, pengambilan bahasa secara utuh, memperhatikan konteks
ayat, memperhatikan asbab nuzul ayat, dan percaya terhadap al-Qur’an sebagai
sumber yang harus diikuti dan selalu dijadikan rujukan.
Qardhawi juga
menjelaskan delapan kesalahan yang harus kita waspadai dalam memahami
al-Qur’an, pertama yaitu, lebih cendrung mengikuti ayat-ayat mutasyabihat
daripada ayat-ayat muhkamat, kemudian kesalahan dalam menta’wil
ayat, menempatkan nash Qur’an tidak sesuai dengan konteks kalimatnya, tuduhan
naskh terhadap ayat tanpa bukti, ketidaktahuan terhadap sunnah bahkan
sengaja menentangnya, percaya terhadap karangan israiliyyat yang
dituliskan pada salah satu buku tafsir yang membawa kepada ketakahyulan serta
kebatilan, menelantarkan apa-apa yang telah dibawa oleh ulama terdahulu serta
menentang dengan sengaja buku-buku turats mereka, yang terakhir yaitu
kelemahan serta keterbatasan dalam ilmu pengetahuan.
Dalam buku ini
Qardhawi menjelaskan bahawa pada era kontemporer ini telah banyak berkembang
metode ilmiah baru dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu penafsiran mengenai
ilu-ilmu alam, seperti ilmu falak, geologi, kimia, biologi, kedokteran, psikologi,
matematika dan sejenisnya. Qardhawi menambaahkan bahwa pada abad ke 20 ini
terdapat banyak pertentangan antara ulama ilmu alam dengan ulama syariat
mengenai metode baru ini. Qardhawi juga mengemukakan beberapa pemikir islam
serta muhaddits yang menyetujui serta menentang metode ini, meskipun
kebanyakan ulama yang menentang daripada mendukung.
Qardhawi
menyebutkan, diantara para ulama yang menentang metode ini adalah Syeikh
Syaltut, Syeikh Amin al-khouli, dan Sayyid Qutub.
Imam Ghazali
dalam bukunya “Jawahiru al-Qur’an” menjelaskan bahwa ilmu-ilmu terdahulu dan
yang berkembang pada nantinya tidaklah keluar dari ajaran al-Qur’an, ghazali
mengatakan “Semua ilmu pada dasarnya bertujuan untuk menambah pemahaman
terhadap al-Qur’an, sebagaimana al-Qur’an sendiri menyeru kepada hal tersebut,
dengan gambaran yang terkandung di dalamnya secara umum,”.
Kemudian Qardhawi menjelaskan kedudukan yang harus kita ambil dalam
menyikapi pertentangan ini, bahwa terdapat tiga pandangan mengenai permasalahan
ini, disatu sisi bahwa pihak yang menolak disertakannya ilmu alam serta
pemikiran dalam penafsiran al-Qur’an, mereka beranggapan bahwa akan terjadi perubahan
dengan perbedaan yang terdapat dalam ilmu-ilmu tersebut, di lain sisi pihak
yang berambisi untuk memakai ilmu-ilmu tersebut bertujuan untuk menunjukkan,
bahwa al-Qur’an mencakup ilmu-ilmu tersebut, dan mereka berupaya untuk
mengangkat istilah “I’jaz al-‘Ilmi” dengan banyaknya keunggulan yang
terdapat didalam al-Qur’an.
Qrdhawi mengatakan bahwa Dari dua sisi tersebut kita bisa mengambil
kedudukan dalam menyikapinya, yaitu bersikap adil atau berada di tengah-tengah
kedua belah pihak, dengan tidak menolaknya serta tidak berlebihan dalam
menetapkannya.
Secara singkat Qardhawi menjelaskan tiga pandangannya mengenai
permasalahan ini, yang pertama yaitu pentingnya pengetahuan terhadap ilmu-ilmu
tersebut. Kedua, kewaspadaan mereka yang secara khusus memperdalam ilmu ini, dan
ketiga mengindahkan syarat yang harus dipenuhi ketika memakai ilmu alam dalam
penafsiran al-Qur’an.
Sebagai pengantar studi ilmu al-Qur’an, buku ini sangat penting
untuk dijadikan pegangan, serta rujukan utama. Wawasan keilmuan Yusuf Qardhawi
mengenai ilmu al-Qur’an yag tidak diragukan lagi bisa menjadi mutu terhadap
nilai keakuratan dan keilmiahan buku ini. Untuk menunjukkan nilai keilmiahan
itu, yusuf Qardhawi selalu menukil pendapat ulama-ulama salaf maupun
kontemporer dalam bukunya, seperti Imam Ghazali, Imam Juwaini, Imam Laits, Imam
Qurthubi, Imam Nawawi, Ibnu Katsir, Syeikh Syaltut, Sayyid Qutub, al-Mawardi,
Rasyid Ridha, Abdullah Darros, dan masih banyak lagi ulama-ulama salaf maupun
kontemporer lainnya yang dijadikan rujukan untuk memperkuat keakuratan bukunya.
Semoga dengan metode utama dalam mempelajari ilmu al-Qur’an yang dijelaskan
secara terperinci oleh Yusuf Qardhawi
bisa membuka wawasan keilmuan kita dalam mempelajari ilmu al-Qur’an secara
mendalam. Wallahu a’la wa a’lam.
Buku : Kayfa Nata’amal Ma’a al-Qur’an
al-‘Adzim.
Penulis
: Dr. Yusuf Qardhawi.
Penerbit : Darussyuruq, Kairo, Mesir.
Tahun
Penerbitan : Cetakan kedelapan 2011.
Jumlah
halaman : 460 halaman.
0 komentar:
Posting Komentar