This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Sub Bab Makalah Kajian PAKEIS

Teori Konsumsi

A.    Definisi Konsumsi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) konsumsi yaitu, pemakaian barang hasil produksi seperti bahan makanan, pakaian dan lain-lain untuk memenuhi keperluan hidup.[1]

Secara umum, konsumsi juga dapat didefinisikan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali maka dia disebut pengecer atau distributor.[2]

Menurut Dr. Asyraf Muhammad Dawwabah, konsumsi adalah suatu bentuk kegiatan dimana konsumen menggunakan atau menghabiskan suatu barang dan jasa pelayanan guna memperoleh manfaat serta kepuasan. Suatu benda atau jasa yang digunakan berbentuk barang yang digunakan untuk memperoleh manfaat serta kepuasan secara langsung.[3]

Barang konsumsi itu terbagi dua macam:[4]
1.      Konsumsi jangka panjang atau memanfaatkan suatu barang atau jasa dalam jangka waktu yang lama. Seperti sepatu, baju, kendaraan, rumah, dll.
2.      Konsumsi jangka pendek yang bisa dihitung dengan waktu, seperti makanan dan minuman.

Konsumsi dari segi kelebihan dan kekurangan
Tidak mungkin membangun suatu masyarakat tanpa konsumsi di dalamnya, karena dengan konsumsi manusia dapat bertahan hidup, dan tata cara pelaksanaanya diatur oleh badan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat. Konsumsi dari segi kelebihannya adalah bahwa dengan konsumsi manusia dapat melanjutkan eksistensinya. Sedangkan kekurangannya adalah bahwa dikhawatirkan manusia akan berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi. Maka ekonomi Islam mengatur kegiatan konsumsi dengan menata keseimbangan materi dan rohani.[5]

 B. Bahaya Konsumsi[6] 
1.      Membahayakan Perekonomian
Pada prinsipnya Negara yang mempunyai devisa besar dan mampu menyimpannya serta tidak mempunyai pengeluaran yang banyak, maka akan lebih cepat pertumbuhannya dibanding dengan Negara lain. Maka budaya hidup konsumtif secara tidak langsung dapat menghancurkan unsur terpenting dari pertumbuhan dan perkembangan Negara itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar dalam prinsip konsumsi.
2.      Membahayakan masyarakat
Besar pasak dari pada tiang adalah ungkapan yang paling cocok terhadap prinsip ekonomi suatu masyarakat. Kita ambil contoh dalam suatu keluarga, sebuah keluarga harus bisa mengelola keuangan mereka, termasuk memberikan pendidikan menabung sejak dini kepada anak-anak mereka. karena pendidikan orang tua terhadap anak mengenai sifat konsumsi sangat mempengaruhi , jikalau pengeluaran lebih banyak dibanding pemasukan disinilah awal terjadinya keretakan rumah tangga. Begitu pula dalam sebuah masyarakat.
3.      Bahaya terhadap politik
Tidak terpenuhinya kebutuhan warga Negara akan mengakibatkan keagresifan warga untuk memenuhi kebutuhan dengan cara mereka sendiri, sehingga tidak ayal lagi saling mementingkan diri sendiri adalah cerminan dari tidak tercukupinya kebutuhan warga oleh Negara yang berdampak pada tumpang-tindih serta perselisihan dalam ekonomi dan politik. Karena yang diinginkan dari warga Negara yaitu kesejahteraan, mendapatkan keuntungan, serta kehidupan yang damai dibawah naungan pemerintah.
4.      Bahaya terhadap syariat
Sikap hidup konsumtif yang berlebihan dikhawatirkan akan keluar dari jalur akhlak dan adab, serta  ajaran agama, begitu juga akan menimbulkan beberapa dampak, seperti mengikuti pola kehidupan barat dari segi makanan, minuman dan pakaian, sehingga menyebabkan rusaknya moral dan terbentuknya pola hidup berlebihan dengan tabdzir dan bermewah-mewah. Mereka Melakukan semua hal yang tidak izinkan syariat dan mengeluarkan hartanya untuk bermaksiat, dengan melakukan kemunkaran-kemunkaran. Itu semua merupakan pekerjaan yang sangat tidak di ridhai Allah dan Rasulullah, juga akan membahayakan keharmonisan keluarga dan masyarakat pada umumnya.

C.    Faktor Pengaruh Konsumsi[7]
Ada beberapa faktor  yang mempengaruhi budaya konsumtif berlebihan:
1.      keuntungan yang besar
Secara umum kegiatan konsumsi berkaitan dengan keuntungan, jika pemasukan bertambah maka konsumsi akan bertambah juga.
2.      Kebiasaan hidup konsumtif
Ketika pemahaman hidup konsumstif telah mennguasai suatu kelompok, maka pemahaman tersebut akan berubah menjadi kebiasaan dan budaya yang negatif, seiring dengan bertambahnya minat konsumsi suatu masyarakat.
3.      Tingkatan naik dan turunnaya harga barang
Apabila harga suatu barang meningkat, maka dalam waktu yang sama masyarakat akan memaksimalkan konsumsinya, begitu pula sebaliknya.
4.      Jumlah harta kekayaan
Secara umum masyarakat akan menabung hartanya supaya bertambah dan dapat dinikmati pada nantinya. Ketika terdapat kelebihan yang banyak dalam jumlah hartanya maka minat untuk menabung akan berkurang, dalam artian harta yang akan digunakannya untuk mengkonsumsi suatu barang ataupun jasa akan bertambah, begitu pula sebaliknya.
5.      Hasrat untuk melakukan tabdzir, pemborosan dan riya’ (pamer)
Ini merupakan motif atau contoh dari hal-hal yang tidak dibenarkan dalam syari’at dan dapat menimbulkan kemudharatan terhadap masyarakat secara umum.

D.    Perilaku Konsumen
Islam mengatur segenap prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula dalam masalah konsumsi. Islam mengatur bagaimana manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia agar berguna bagi kemaslahatan hidupnya.[8]
Seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan pada beberapa pertimbangan;[9]
1.      Manusia tidak berkuasa sepenuhnya dalam mengatur secara detail permasalahan ekonomi masyarakat atau Negara. Ketidakmampuan manusia dalam mengatur gejala-gejala ekonomi dinyatakan al-Ghazali sebagai sesuatu yang alami, karena manusia mengkondisikan pemenuhan kebutuhan hidupnya berdasarkan tempat dimana dia hidup. Manusia tidak bisa memaksakan cara pemenuhan hidup orang lain kepada dirinya ataupun sebaliknya. Seorang muslim akan yakin bahwa Allah akan memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 10-11, “Dia menurunkan air dari langit, diantaranya untuk minuman kamu dan diantaranya untuk tumbuh-tumbuhan, di sana kamu mengembalakan ternakmu. Dia tumbuhkan untukmu dengan air itu tanaman, zaitun, kurma, anggur dan bermacam-macam buah,”.
2.      Dalam konsep islam kebutuhanlah yang membentuk pola konsumsi seorang muslim. Dimana batas-batas fisik merefleksikan pola yang digunakan seorang muslim untuk melakukan aktivitas konsumsi, bukan dikarenakan pengaruh yang bersifat prioritas semata. Keadaan ini akan menghindari pola hidup yang berlebih-lebihan, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga konsistensinya dalam jangka panjang. Sebab, pola konsumsi yang didasarkan pada kebutuhan, akan menghindari dari pengaruh-pengaruh pola konsumsi yang tidak perlu.
3.      Dalam berkonsumsi seorang muslim harus menyadari bahwa ia menjadi bagian dari msyarakat. Maka dalam berkonsumsi dituntut untuk saling menghargai dan menghormati keberadaan sesamanya. Bila sikap saling menghargai menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat, maka akan terbangun kehidupan yang berkeadilan dan terhindar dari kesenjangan sosial. Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat: 29, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu,”. 

E.     Teori Prilaku Konsumen
Teori perilaku konsumen mempelajari bagaimana manusia memilih diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya. Teori prilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme (kepuasan). Diprakarsai oleh Bentham yang mengatakan bahwa secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk melakukannya.[10]

Sedangkan perilaku konsumen islami terbentuk dari paradigma berpikir yang sama sekali berbeda dengan paradigma hukum permintaan yang kita kenal dalam ekonomi konvensional. Rasionalitas yang sangat digunakan dalam teori dan alokasi sumber daya telah menjauhkan analisis ekonomi modern dari siraman nilai-nilai kemanusiaan dan semangat egaliter yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pola konsumsi pada masa kini lebih menekankan aspek pemenuhan keinginan material daripada aspek kebutuhan yang lain. Amat sedikit sekali perhatian yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan, hakikat dan kualitas barang dan jasa yang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan ini dan bagaimana hal itu dapat didistribusikan secara lebih adil kepada semua anggota masyarakat.[11]

Islam  memberikan konsepa adanya an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang ). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Tentu saja ia tetap memerlukan semua pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani, termasuk juga kenyamanan-kenyamanan. Tetapi pemuasan kebutuhan harus dibarengi dengan adanya kekuatan moral , ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antar sesama manusia dalam sebuah masyarakat. Syari’ah Islam menginginkan manusia untuk mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah ‘maslahah’, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupaka tujuan hukum syara’ yang paling utama. Menurut Imaam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.[12]

F.     Pola Hidup Konsumtif dan Dampaknya[13]
Konsumtif, dalam pandangan ekonomi adalah gaya hidup yang mengutamakan keinginan untuk mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Sifat ini cenderung mengabaikan faktor pendapatan dan ketersediaan sumber daya ekonomi, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seseorang sebelum melakukan tindakan konsumsi. Dalam tataran yang lebih luas, jika tidak mampu megendalikan sifat konsumtif-nya, tentu akan menjadi bahaya komunal yang sanggup menggulung bangsa ini pada kebangkrutan.

Dalam perspektif psikologis, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang “sakit” atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan (shock culture). Pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Proses pembentukan prilaku manusia, termasuk juga prilaku konsumerisme umumnya berasal dari stimulus yang diterima oleh panca indera melalui proses sosial atau melalui media audio visual yang kemudian terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Dewasa ini, pola hidup konsumtif sebenarnya secara pelan-pelan sedang diajarkan oleh media, masyarakat dan bahkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Lihatlah di TV, majalah dan Koran yang setiap hari gencar menayangkan gaya hidup glamor, penuh dengan sikap konsumtif yang dipamerkan terang-terangan. Juga masyarakat kita adalah masyarakat yang terlanjur mengganggap sifat tersebut sebagai bagian hidup yang wajar.

Sebuah fakta menunjukan, bahwa ukuran seseorang dikatakan sukses apabila ia mampu menumpuk barang-barang mewah di rumah, tanpa peduli apakah barang-barang tersebut diperoleh dengan cara berhutang. Budaya konsumtif merupakan paradoks atas budaya produktif yang semestinya menjadi kebiasaan bangsa yang tengah merangkak maju seperti bangsa Indonesia. Konsumtif yang sifatnya menghabiskan sumber daya, jika tanpa imbangan kemampuan dan kreativitas berproduksi hanya akan menggiring bangsa ini menjadi bangsa yang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain, serta berpotensi menghilangan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang.
Penyelenggara pendidikan semestinya memikul tanggung jawab pendidikan yang tidak sekadar memberikan pelajaran pengetahuan (transfer knowledge), tapi juga sekaligus membentuk karakter anak didik yang berjiwa produktif dengan meminimalisir sifat konsumerismenya sehingga ke depan bangsa ini mampu bersaing dalam percaturan global. Dalam hal diatas, Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kita untuk selalu hidup sederhana. 
G.    Peran Pemerintah Dalam Konsumsi[14]
Metode ekonomi islam telah menetapkan bahwa pemerintah memeliki peranan dalam perkembangan pasar berdasarkan surat keterangan Hakim. Nabi Muhammad SAW sendiri telah melakukan tugas itu, kemudian diikuti oleh para sahabat dengan membuat suatu metode khusus. Sistem ini masih dipakai dan dijalankan hingga masa sekarang.

Pada masa sekarang ajaran ekonomi mensyaratkan peranan pemerintah dalam mengawasi perkembangan pasar, dengan tujuan untuk menjaga konsumen dari keluarnya sutau barang atau jasa yang tidak memeberikan manfaat. Juga untuk menanamkan budaya produksi kepada masyarakat dan meemberikan bimbingan dalam teori konsumsi. Disini pemerintah juga dapat memulai untuk memeberikan suatu contoh, yaitu melakukan bimbingan kepada masyarakat dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada, seperti media informasi dan komunikasi.

Banyak orang beranggapan bahwa satu-satunya yang berkewajiban memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah organisasi konsumen. Anggapan ini tentunya tidak benar. Perlindungan konsumen sebenarnya menjadi tanggung jawab semua pihak yaitu pemerintah, pelaku usaha, organisasi konsumen dan konsumen itu sendiri. Tanpa adanya andil dari keempat unsur tersebut, sesuai dengan fungsinya masing-masing maka tidaklah mudah mewujudkan kesejahteraan konsumen. Pemerintah bertindak sebagai pengayom masyarakat, dan juga sebagai Pembina pelaku usaha dalam meningkatkan kemajuan industri dan perekonomian negara. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, atau penerbitan standar mutu barang. Di samping itu, tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan pada penerapan peraturan, ataupun standar-standar yang telah ada.[15]

Sikap yang adil dan tidak berat sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan kepada konsumen tidak harus berpihak pada kepentingan konsumen yang merugikan kepentingan pelaku usaha, jadi harus ada keseimbangan. Bagi pelaku usaha atau produsen, mereka perlu menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada konsumen. Untuk itu mereka mempunyai kewajiban untuk memproduksi barang dan jasa sebaik dan seaman mungkin dan berusaha untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Pemberian informasi yang benar tentang produk pangan yang bersumber dari luar negeri khususnya menjadi arti yang sangat penting. Hal ini akan berhubungan dengan masalah keamanan, kesehatan maupun keselamatan konsumen.[16]

Hal-hal tersebut perlu disadari produsen. Pemahaman bahwa yang dimaksud dengan “konsumen” adalah “kita semua” sangatlah penting. Suatu musibah benar-benar dapat menimpa kita semua, termasuk juga produsen. Tidak ada satu pihak pun yang menjamin bahwa produsen tidak dapat ditipu, dan siapa yang menjamin bahwa pemerintah tidak dapat terjebak suatu transaksi atas suatu produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika. Sebenarnya yang tidak kalah penting perannya dalam mewujudkan perlindungan konsumen adalah konsumen itu sendiri. [17]



           










[1] Lihat: KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi, 27 September 2013, 13:00.
[3] Asyraf Muhammad Dawabah, al-Iqtishad al-Islamy Madkhal wa Manhaj, (Kairo: Darussalam, 2010), cet. I, hal. 149.
[8] Heri Sudarsono, Konsep ekonomi Islam Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), cet. II, hal. 167.
[10] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. III, hal. 56-57.