Kamis, 27 Desember 2012

kekerasan atas nama ham


KEKERASAN ATAS NAMA HAM ( hak asasi manusia )


Pada zaman yang serba modern ini banyak para aktifis sosial dari kalangan cendikiawan dan para pemikir yang mengangkat persoalan terkait kekerasan atas nama agama, mereka beropini bahwasanya agama dijadikan alat untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok minoritas, seperti halnya permasalahan yang masih diperdebatkan sampai sekarang ini yaitu “Ahmadiyah” ataupun RUU kesetaraan gender, para aktifis ham seperti Siti musdah mulia seorang guru besar di UIN syarif hidayatullah Jakarta mengungkapkan opininya bahwa agama dijadikan sebagai alat ataupun wadah untuk mengintimidasi ataupun mendiskreditkan kelompok minoritas.

Sama halnya dengan tokoh nasionalis seperti Adnan Buyung Nasution, ia berstatment bahwasanya hakikat dari demokrasi adalah perlindungan terhadap kelompok minoitas, dan Negara tidak harus selalu mengikuti setiap kehendak kelompok mayoritas. Mereka berani berstatment seperti demikian ditinjau dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut saya itu tidaklah cukup karena demokrasi itupun harus dilandasi dengan pengertian terhadap otoritas kelompok lain. Pemahaman seperti ini mulai banyak berkembang di kalangan para pemikir di Negara Indonesia, lebih daripada itu pemahaman seperti ini mulai meluas di kalangan universitas-universitas yang berlebelkan islam.

Permasalahan yang tidak kalah pentingnya yaitu kesetaraan gender, ini merupakan suatu gagasan yang pada awalnya mulai berkembang di negara2 barat. Berawal ketika wanita diperlakukan sebelah mata oleh para pria kemudian mereka mengambil suatu tindakan dengan membentuk suatu komunitas guna mengambil hak-hak mereka sebagai seorang manusia yang memiliki kepentingan sama dengnan lelaki, setelah itu muncullah istilah kelompok feminis, mereka inilah yang secara ekstrim menuntut agar pria dan wanita disetarakan secara gender.

Ini merupakan suatu permasalahan yang tidak terfikirkan sebelumnya, karena apabila gagasan ini direalisasikan maka akan muncul berbagai macam permasalahan baru dan dampak-dampak sosial yang besar. Hal ini dekemukakan secara eksplisit oleh ketua umum INSIST Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi M.A, beliau menjelaskan bahwasanya ide ini merupakan produk budaya barat, tidak dapat diterapkan kepada Negara yang beragama seperti Indonesia. Karena Negara Indonesia mayoritas berpenduduk muslim dan gagasan seperti kesetaraan gender sama sekali tidak terdapat dalam hukum islam.

Wallahua'lam Bisshowab...

1 komentar:

  1. bagaimana membedakan antara penistaan agama dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan ?

    BalasHapus