KEKERASAN
ATAS NAMA HAM ( hak asasi manusia )
Pada
zaman yang serba modern ini banyak para aktifis sosial dari kalangan
cendikiawan dan para pemikir yang mengangkat persoalan terkait kekerasan atas
nama agama, mereka beropini bahwasanya agama dijadikan alat untuk mendiskreditkan
kelompok-kelompok minoritas, seperti halnya permasalahan yang masih
diperdebatkan sampai sekarang ini yaitu “Ahmadiyah” ataupun RUU kesetaraan
gender, para aktifis ham seperti Siti musdah mulia seorang guru besar di UIN
syarif hidayatullah Jakarta mengungkapkan opininya bahwa agama dijadikan
sebagai alat ataupun wadah untuk mengintimidasi ataupun mendiskreditkan
kelompok minoritas.
Sama
halnya dengan tokoh nasionalis seperti Adnan Buyung Nasution, ia berstatment
bahwasanya hakikat dari demokrasi adalah perlindungan terhadap kelompok
minoitas, dan Negara tidak harus selalu mengikuti setiap kehendak kelompok
mayoritas. Mereka berani berstatment seperti demikian ditinjau dari aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut saya itu tidaklah cukup karena
demokrasi itupun harus dilandasi dengan pengertian terhadap otoritas kelompok
lain. Pemahaman seperti ini mulai banyak berkembang di kalangan para pemikir di
Negara Indonesia, lebih daripada itu pemahaman seperti ini mulai meluas di
kalangan universitas-universitas yang berlebelkan islam.
Permasalahan
yang tidak kalah pentingnya yaitu kesetaraan gender, ini merupakan suatu
gagasan yang pada awalnya mulai berkembang di negara2 barat. Berawal ketika
wanita diperlakukan sebelah mata oleh para pria kemudian mereka mengambil suatu
tindakan dengan membentuk suatu komunitas guna mengambil hak-hak mereka sebagai
seorang manusia yang memiliki kepentingan sama dengnan lelaki, setelah itu
muncullah istilah kelompok feminis, mereka inilah yang secara ekstrim menuntut
agar pria dan wanita disetarakan secara gender.
Ini
merupakan suatu permasalahan yang tidak terfikirkan sebelumnya, karena apabila
gagasan ini direalisasikan maka akan muncul berbagai macam permasalahan baru
dan dampak-dampak sosial yang besar. Hal ini dekemukakan secara eksplisit oleh
ketua umum INSIST Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi M.A, beliau menjelaskan bahwasanya
ide ini merupakan produk budaya barat, tidak dapat diterapkan kepada Negara
yang beragama seperti Indonesia. Karena Negara Indonesia mayoritas berpenduduk
muslim dan gagasan seperti kesetaraan gender sama sekali tidak terdapat dalam
hukum islam.
Wallahua'lam Bisshowab...
bagaimana membedakan antara penistaan agama dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan ?
BalasHapus